Gambar milik mas Google
LOVE MOMENT AT MAJORELLE GARDEN
Pak Tyqnue Azbynt
Subhanallah begitulah mulut ini tak hentinya bertasbih saat Travelling ke negeri mentari tenggelam Maroko. Semula aku menduga yang namanya Afrika adalah tandus dan tak ada kesan yang menarik, tapi demi menjelajah tahu kaum Barber aku terpaksa melakukan rihlah ilmiyah tuk mengentas tugas laporan jurnal Islamic Cultural History. Tugas tuk laporan pra tesis dari kampus ini kuanggap sebagai takdir saja.
Perjalanan kami yang ikut paket tour diarahkan ke Etbenadu kampung suku Barber dengan pesona banguanan tanah liatnya. Kasbah ( benteng dan pemukiman ) Etbenadu yang sudah menjadi World Heritage UNESCO itu benar-benar memanjakan mata kami. Terbayar sudah lelah dan panas yang menyandera kami sepanjang hari. Sore itu lautan pasir Gurun Sahara benar-benar memamerkan keelokannnya, dari putih perak perlahan kuning keemasan, jingga tembaga hingga ungu kekelabuan mempermainkan warna saat mengantarkan si raja siang ke peraduannya. Di Camp besar Suku Barber atau suku Amazik kami dijamu ala hotel dengan sajian makan tradisional. Cuaca malam yang perlahan mulai ekstrim kami enyahkan dengan bermain api unggun sembari melihat lepas langit Sahara yang bertabur gemintang. Sungguh malam yang indah, hingga terlupakan semua beban hutang, beban tugas yang kian menumpuk, he he.
Selepas shalat subuh di atas serakan pasir Gurun Sahara aku bersama beberapa wisman bergegas menuju Masjid Hasan II masjid megah dengan menara tertingginya 210 m yamg berlampu laser yang tiap malam menyorotkan cahayanya ke kota Mekkah Al Mukaromah. Subhanallah luar biasa. Berkali ketakjuban itu membuatku menangis atas anugerahNya bisa berkunjung ke masjid yang berbatas dengan laut Altantik itu. Aku benar-benar terpukau oleh semuanya hingga aku tak sadar kehilangan back ranselku. Entah ketinggalan di mana hingga aku bak budak yang di pasung di tengah keramaian. Tak bisa apa-apa karena hilang semua bekal-bekalku. Beruntungnya di negeri itu bebas visa untuk warga Indonesia pasca terselenggaranya KTT Asia Afrika di Bandung, bahkan di situ ada nama Jl. Soekarno sebagaimana di Jakarta ada nama jalan Casablanca. Penghargaan atas jasa presiden kita dan Raja Maroko saat itu yang bisa kita nikmati hingga kini. Akhirnya aku ngasal saja ikuti rombongan ( entah rombongan dari grup mana ) menuju Majorelle Garden. Nervous, cemas tak bisa aku hindari hingga aku collapse dan tak sadarkan diri. Aku tak ingat apa-apa. Entah hingga berapa lama aku hilang kesadaran, yang aku tahu tetiba saja ada embusan kipas yang menjamah-jamah tubuhku.
" Are you Indonesian? ", Tanya seorang wanita berwajah oriental.
" Yap I'm Indonesia ", jawabku dalam ambang kesadaran.
" Owalah mas... Orang Indonesia toh... kenapa, kecapaian yaah?, kok Sampai collapse ?, " Tanyanya.
Aku sampaikan kejadian yang telah menimpaku saat di Masjid Hasan II sebelumnya.
" Owh ... jangan-jangan ransel yang ada di bagasi mobil itu? ada tulisan Malang University-kah?".
" Yaah...betul, warna biru?", Tanyaku.
Di Taman Majorelle itu aku kembali menemukan asa menemukan jalan pulang. Ternyata wanita itu bernama Dewy Rose dan teman-temannya sedang melakukan ' Travel Writing' sembari merayakan ulang tahunnya di 28 September 2022 ini, bersama komunitas penulis Nusantara. Moment itu takkan pernah kulupakan karena dari situlah justru merajutkan temali cinta kami. Indahnya taman dengan aneka kaktus dan beraneka tanaman eksotik lainnya menjadi saksi pertautan kasih kami di negeri mentari tenggelam itu, negerinya sang penjelajah Ibnu Batutah yang namanya menjadi noktah History di sejarah Islam di Indonesia. Semua rekaman dan catatan perjalanan kami akan menjadi sumber laporan jurnal untuk melengkapi tugas ilmiyahku. Yang tak pernah hilang di benakku, Etbenadu camp, suku Barber, rumah tanah liat Kasbah Etbenadu, Marrakech, Hassan Mosquera, Majorelle Garden, Sahara, and....Dewy Rose love. I always remember her love. I can't stop loving her.
___
Marakech, September 28 2022