SEPEKAN DI LOJI BELAWAN
Pak Tyqnue Azbynt
Tugas kilat melakukan penelitian sekitar kehidupan masyarakat pemetik kopi adalah hal yang sangat tak kuinginkan. Bermukim di daerah puncak yang dingin sama sekali bukan hal yang menggembirakan. Tapi tuntutan akademiklah yang memaksaku melakukan jua.
Sore menjelang, kabut pun mulai menjajah area sekitar Loji. Dingin membuatku mengalami hipotermia. Ini adalah hal yang sudah kuduga sebelum menjalani tugas akademikku. Seorang perempuan tua mendatangiku membawakan seteko teh panas dan kudapan ketela rebus. Tapi gigilku kian menjadi-jadi hingga Mbok Mina perempuan tua itu panik dibuatnya. Dengan bermodal handy talky dia mencoba mengontak seseorang.
Pukul 21 seorang perempuan berambut pirang mendatangiku. Kulitnya yang agak kemerahan menunjukkan bahwa dia bukan orang pribumi. " Tenang mas, jangan panik saya Danique yang akan membantu masnya ...", Katanya dengan fasih berbahasa Indonesia. Dari penjelasannya baru kutahu kalau dia adalah salah satu keturunan Belanda yang memilih menjadi WNI pasca kepulangan papanya ke Nederland saat peristiwa reformasi 98 dulu. Dia memlilih bersama mamanya penduduk lokal yang kini telah meninggal. Penduduk lokal tetap menganggapnya sebagai anak kompeni hingga sulit tuk mencari pendamping hidup walaupun usianya sudah 30 lebih. Usia kepala 3 membuatnya semakin cemas dalam hal asmara. Karenanya walaupun aku 5 tahun lebih muda darinya kuberanikan diri tuk menawarkan jasa asmara. Genggaman erat pada tanganku dan tetesan bening dari mata birunya menunjukkan keharuan atas tawaranku. Dia yang semula bersemuka denganku, mengubah posisi bersebelahan dan menjatuhkan kepalanya di pahaku. Tak ada lagi hipotermia karena aliran hangat darahku menjalar ke seluruh tubuhku. Kucium keningnya sembari berucap, " jangan cemas bidadariku aku akan menjadi pendampingmu hingga di surgaNya nanti".
____
Bondowoso, 6 11 22
Tidak ada komentar:
Posting Komentar