Total Tayangan Halaman

Selasa, 01 November 2022

Corat-coret Jelang Subuh

 



CORAT-CORET JELANG SUBUH

Pak Tyqnue Azbynt



Tak seperti biasanya pagi saat nida' subuh sayup-sayup terdengar para serdadu itu telah bersiap tuk shalat subuh yang diimami Romo Kiyai  Haji Thahir. Mereka yang biasa minta suwuk dan dedoa dari sang Kiyai, kini tak lagi hanya sekedar minta suwuk tetapi justru meminta arahan penyerangan ke Tanksi Kompeni di pinggiran kota Bondowoso. 


Shalat subuh usai begitupun wirid pagi yang begitu khusyuk dan hidmat  menjadikan pagi itu penuh kesan magis heroik. Romo Kiyai langsung mengambil rotan yang ada dekat mihrab untuk digunakan sebagai apa kami tak tahu. Kami menganggap akan ada pemukulan di punggung kami seperti saat bolos mengaji dulu. Kami yakin pukulan itu membawa berkah dan bertuah sebelum berangkat berperang. Kami dulu tak pernah berontak saat dipukul Romo Kiyai, karena orang tua kami mewanti-wanti bahwa itu adalah berkah keilmuan, dan kami yakin itu. Tapi kali itu Romo Kiyai justru menggunakan rotan itu untuk digoreskan di tanah depan masjid pondok kami. Goresan-goresan itu memberi gambaran arah penyerangan yang mesti harus kami taati. Arus gerakan harus searah gerakan wukuf dan jangan lupa untuk sambil berzikir. Komando serangan dipasrahkan padaku agar dimulai selepas bertahlil di Astana  almarhumin pini sepuh pesantren. Saya merasa punya beban harus memimpin pasukan, sementara aku masih belum terbiasa memimpin perjuangan. 


Mungkin karena kekhawatiranku penyerangan itu bisa dikatakan gagal. Semua personelku lari cerai berai meninggalkan korp.   Semua menyelamatkan diri. Walaupun gudang mesiunya sebagian bisa kami bakar, dan rentetan ledakan bak brondong jagung goreng, tapi kami bercerai berai, sedangkan aku harus dipapah menuju pesantren untuk diobati oleh sukarelawan medis. 


Tetiba aku terbangun dari ketidakhsadaranku saat dibacai dedoa oleh Romo  Kiyai. Tahu tahu betis kiriku sudah dibalut kain perban sedang kepalaku masih dikompres air hangat oleh Neng Fatimah seorang paramedis yang justru putri Romo Kiyai. " Serpihan kerak geranat sebesar kuku jari kaki telah berhasil saya keluarkan kakang, mohon jangan banyak bergerak dulu karena darahnya masih merembes dari kain kasa perban itu", jelasnya. Aku jadi malu dan terasa kikuk di hadapan putri kiyai yang bagai gadis Pakistan itu. " Tak usah sungkan kakang ... saya telah merelakan jiwa raga ini untuk ibu Pertiwi,. anggap saja kita adalah saudara". 

" Tapi neng...kita bukan mahram...", jelasku. 

" Biar tidak haram, mulai besok kalian akan kami nikahkan, biar tidak haram lagi, karena dulu almarhum bapakmu adalah temanku, dan belaiulah yang telah mewakafkan tanahnya untuk pesantren ini", jelas Romo. Yassalam nyeriku serasa hilang seketika saat Romo Kiyai  mendaulatku agar menikah dengan neng cantik itu. Apalagi si neng malah pura-pura memebenahi perbanku tapi justru tangannya mampir di pinggang kiriku dengan cubitan kecil plus kerlinagan mata kirinya yang menggodaku. 

___

Bondowoso, 1 11 22

2 komentar:

PERJALANAN DI HUTAN PINUS

 PERJALANAN DI HUTAN PINUS  Pak Tyqnue Azbynt  Erkantina wanita yang kuidamkan sejak aku  SMA itu kini benar-benar bersamaku. Momen saat dia...