RAYYA ELDEEDA
Pak Tyqnue Azbynt
Masuk di ruang lab kimia kampus National Yang Ming Chiao Tung University (NYCU) musim gugur tahun ini terasa tak nyaman di hati. Mungkin karena rindu tanah air dan orang-orang tercinta di rumah yang sudah setahun tak bersua muka. Kesibukan di Taiwan menjadikan hari-hari begitu padat tak seperti ketika kuliah S1 ku di Indonesia. Badan terasa capek dan kehilangan semangat tuk ngelab di sesi hari ini.
Tak banyak pelajar dari asia tenggara yang mengambil program di kampus itu, mungkin karena kendala bahasa atau hal lain yang merepotkan. Bagiku soal bahasa bukanlah kendala toh mahasiswa banyak menggunakan bahasa Inggris dan bahkan di fasilitas fasilitas umum banyak bertuliskan Bahasa Indonesia. Mungkin karena banyak pekerja migran asal Indonesia atau karena hubungan bilateral kedua negara, entahlah. Aku memilih bermain game di laptop demi mengusir badmoodku.
"Hi, are you Indonesia?", sapa seorang gadis di dekatku.
"Oh, yah, I'm Indonesian, I am Javanesse"
"Owww jowo Endi?" Lanjut cewek pirang itu penasaran. Usut punya usut dia asal Bondowoso Jawa Timur yang setahuku berbahasa Madura. Semula aku duga dia asli Taiwan karena kulitnya yang bening dan rambutnya yang dipirangkan itu menjadikannya tak tampak seperti orang Indonesia.
"Aku biasa keluar masuk lab ini mas, tapi bukan sebagai mahasiswa, tapi sebagai room girl yang membersihkan dan menata alat-alat di sini. Kukira dia sebagai laboran ternyata hanya seorang room girl, yaa kurang sebanding dengan kemolekan wajahnya, apalagi tampilannya yang super rapi itu. Btw, dia semula hanya sebagai pekerja di rumah salah seorang dosen di kampus itu. Mungkin karena kerjanya yang bagus dia dipekerjakan di situ, entahlah. Bicaranya tertata bagus menunjukkan level pendidikannya. Dan benar saja justru dia lulusan fakultas tarbiyah di UIN Malang, hanya saja dia tak menggunakan jilbab seperti layaknya anak kampus muslim. Mungkin karena penyesuaian dengan lingkungan kerjanya.
Menapak kaki di negeri orang bagi seorang wanita apalagi berpendidikan tentunya sudah dibarengi dengan penataan asa yang kuat. Di tanah air yang sulit mendapatkan kerja, terlebih lagi ramainya disensi terhadap situasi ekonomi nasional yang kurang menguntungkan. Pilihan "kabur aja dulu" menjadi tekat Rayya. Bagiku di Taiwan ini bukan dalam kontek kabur tetapi memang melanjutkan straraku ke S2 yang jurusannya memang linear plus beasiswa yang dipromotori oleh Profesor di tanah air.
"Masnya kangen masakan Indonesia? Kalau mau aku buatkan nanti sore, kan homestay saya di ujung jalan itu, sekitar 100 meteran lah"
"Boleh, berarti aku harus kesana?"
"Ya bisa aku ke mess-nya mas, atau jenengan yang ke tempat saya ya munggo kerso"
Akhir kusanggupi tuk ke griya tinggalnya.
Sore itu aku tiba di berandanya, tampak di sisi jalan pohon Cemara merah yang dedaunnya berguguran menjadikan jalanan penuh sampah musim gugur. Beruntunglah dia yang bernama RAYYA ELDEEDA itu diberi homestay oleh juragannya di sisi kiri rumahnya. Aku ketuk pintu, dia pun muncul dengan wajah segarnya yang rasa-rasanya baru usai mandi.
"Wih, segarnya", celetukku.
"Yah biasa mas habis berbenah di rumah si boss, lagian sekarang lumayan gerah"
"He he untung deh aku datang pas musim gugur gini, jadi bisa menikmati suasana alam"
"Lah, justru banyak pohon meranggas"
"Gak kok"
Dia hanya mengernyitkan dahinya, tak memahami goda nakalku. Barulah setelah kupelototi kemolekan wajah dan tubuhnya, dia mulai mengerti dan sedikit malu.
"Oh, si mas, malu ah"
"Boleh kan aku memelototi apa yang ada di depanku ini? Boleh Doong, please ah", godaku sambil memegang kedua tangannya.
"Husss ini mau makan lodeh, apa mau merayu?"
Dia pun mengambilkan aku lodeh dan semangkuk kecil nasi putih. Tanpa disilahkan langsung saja aku makan, tapi suapan pertama aku tujukan padanya. Dia pun mau walau sedikit ragu. Air matanya menetes teringat akan tunangannya yang pernah melakukan hal yang sama namun peristiwa itu harus dikubur dari ingatannya karena dia lebih memilih seorang guru SD yang lebih mapan. Semula kukira dia sedih karena ulahku. Reflek saja kutarik dia kucium keningnya kudekap dengan penuh kasih. Napasnya tersengal, entah dia suka atau marah padaku, aku tak peduli.
"Mas, bolehkah aku mencium tanganmu?"
Tanpa kuiyakan lansung kujulurkan, sembari kubelai rambut pirangnya.
"Oh yaa mas, bolehkah aku minta Jerseymu tuk aku pakai?"
"Trus aku pulang gak pakai baju, oh no, no"
"Pakai Jerseyku kita tukaran"
"Hemmm boleh, toh besok besok kamu yang akan mencuci bajuku saat menjadi ibu anak anak kita", candaku begitu jauh. Dia pun mencubit sekuatnya di perutku. Sontak saja aku kesakitan.
"Boleh aku balas ne"
"He em"
Aku pun duduk bersimpuh menggigit pinggangnya dengan mesra. Dia tersenyum aku cengengesan bahagia.
____
Bondowoso, 12 Mei 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar