YANG TERLUKA
Pak Tyqnue Azbynt
Malam takbiran menjadi penyatu semua keluarga. Senyum dan canda tawa menyeruak di ruang makan. Semacam gala dinner keluarga. Opor ayam dan aneka sajian pamerkan semua pesonanya. Penuntasan puasa disambut santapan serba lezat yang biasa didapatkan setiap saat, ditambah lagi dengan berkumpulnya semua keluarga.
Malang bagi Zara Eng yang sejak bulan-bulan menjelang puasa sudah terjangkit Gastritis semacam peradangan lambung. Jangankan menyantap sajian yang begitu lezat, menghirup aromanya saja sudah hendak muntah. Perutnya bergejolak, ditambah lagi pemasukan ekonominya yang teramat sulit, sementara kebutuhan keluarga kian membengkak saja. Anggota keluarganya hanya cukup berkata, "kasihan" tanpa adanya solusi. Sementara sahabatnya yang senantiasa mensupport ternyata selama bulan puasa ini seakan acuh dan tak mau peduli. Memang dianya telah berkata, selama ramadhan koneksitas diputusin dulu agar konsentrasi dalam ibadah. Masa sih keadaan yang sudah genting begitu masih cuek saja? Yaa begitulah sebuah komitmen yang telah sama menyetujuinya.
Menjelang Maghrib tiba, tetiba saja Zara merasa sama sekali tak punya daya, dan dia pun ambruk di tempat tidurnya. Bukankah besok hari lebaran dan semua bersukacita meraih hari kemenangan? Di perasaan Zara, "aku harus tumpahkan semua air mata menerima semua kenyataan". Dia mencoba menenangkan diri walau sebenarnya begitu perih menyiksanya. Dia mulai merasakan penyesalan, bukankah sebelum bulan puasa tiba, sahabatnya telah berkata, "bermanjalah senyampang belum puasa tiba, karena di bulan itu kita harus berkontemplasi, fokus ibadah". Dia telah menyia-nyiakannya dan lebih cuek dan asyik dengan medsos dan teman-temannya yang lain. And so mungkin hanya alasan saja sahabat sejatinya mengatakan hendak fokus puasa, padahal telah mencampakkannya. Yach, kan hanya sekedar teman sejati, pacar pun bukan? Ngapain harus dihiraukan? Di otak Zara berkecamuk semua perasaan itu. Tetiba saja sang teman menghubungi agar segera rujuk ke dokter pribadinya, walaupun hanya sedikit finansial ditransfer kepadanya. Tanpa rujuk ke dokter, separuh rasa sakitnya mulai hilang. Kepeduliannya menjadi pembalut luka hatinya. "Sembuhlah bidadariku", itulah kekata yang membuat Zara tak merasa lara sendiri, ternyata ada teman spesial yang masih tetap mengerti dalam situasi apapun padanya.
-----
Bondowoso, 30 Ramadhan 1446
Tidak ada komentar:
Posting Komentar