MALING MANGGA
Pak Tyqnue Azbynt
Rumah gede di ujung desa itu cukup teduh dan banyak pohon besarnya. Buah-buahan langka masih saja ada yang justru anak-anak kekinian tak tahu rasanya bahkan namanya saja tak tahu. Mungkin karena pagar tembok setinggi dada orang dewasa yang mengelilinginya membuat orang segan mendekatinya. Wak Kaji Dullah bersama istri plus pembantu yang sudah sama manula tetap bertahan di rumah kuno nan kokoh itu. Anak anak Wak kaji lebih memilih tinggal di luar kota sebagai pejabat negara atau pengusaha. Sebenarnya wak Kaji cukup ramah dan bersahaja, namun kekayaannyalah yang membuat orang silau bersamanya.
Di sisi kiri gerbang ada loji yang lumayan besar tapi hanya ditempati beberapa motor tua yang sudah tak difungsikan, mesin ketik kuno, dan perkakas jaman Belanda yang tak digunakan tapi tetap saja dibersihkan debu-debunya oleh Bi Salma sang pembantu. Rumput-rumput di pekarangan selalu dipangkas rapi oleh Mang Diman suami pembantunya. Di belakang rumah ada 3 pohon mangga besar yang tampak sudah menua, namun tetap saja berbuah dengan lebat kala musim buah tiba.
Musim buah kali ini mangga Wak Kaji benar-benar lebat, hanya kelelawar yang berani mencurinya, padahal di sekitar lingkungannya banyak anak yang sedang aktif nakalnya. Sebut saja si Ilham, Ubaid, Holil, and the genk yang biasa mengusili buah milik tetangga. Aneh, khusus untuk milik Wak Kaji tak ada satu pun yang berani mencurinya. Mungkin karena beliau selalu bagi-bagi pada tetangga apa saja termasuk juga buah-buahan kalau dah panen tiba.
Sepulang sekolah Ilham cs, tengah terheran-heran dengan hadirnya beberapa anjing pemburu di pojok pekarangan Wak Kaji. Bukankah tak ada yang mencuri buahnya? Kenapa harus dijaga gugguk. Barulah mereka tahu kalau Mas Baim anak sulungnya yang mengutus pemburu beserta anjingnya untuk memburu babi hutan di kebun kopi ayahnya. Mas Baim rupanya sengaja menghubungi para pemburu dari kota tempatnya bermukim. Memang babi hutan cukup meresahkan di desa kami.
Sore-sore Ilham cs tengah melihat anjing-anjing pemburu yang sehat dan besar-besar itu. Salah seorang memanggilnya agar masuk ke pekarangan Wak Kaji karena mereka menyuruh membeli rokok di warung ujung jalan. Ini adalah kali pertama Ilham cs memasuki pekarangan yang luas dan bersih itu. Matanya tersorot pada buah mangga yang sedang pamer pesona. Dilihati pokok mangga yang sepertinya punya tantangan tuk dinaikinya. Ubaid mengerlingkan mata sembari memberi kode pada pokok mangga itu.
Usia sudah lanjut yang menjadi penyebab Wak Kaji tak pernah menjenguk kebunnya, tapi berbeda dengan pekan-pekan ini yang mendapat tawaran dari pemburu untuk ikutan ke kebunnya dengan mengendarai campervan (mobil van yang biasa dibawa berkemah) mereka. Hari minggu itu kebetulan anak sulungnya membersamai mereka ke kebun yang telah lama terlantar. Konon mas Baim sengaja plessir ke desa orang tuanya selama setengah bulan ya maklumlah, harus menyiasati kebunnya yang bagai tak bertuan.
Mentari masih sepenggalah rumah wak kaji sudah mulai sepi, kecuali Bi Salmah yang tetap bersih-bersih rumah, sedang Mang Diman justru ikutan Mas Baim ke kebun. Ilham cs, yang hendak main layangan mengubah niatnya. Pohon mangga di belakang rumah menjadi titik sasar petualangan nakalnya. Mangga Alphonso (mangga India) yang terkenal kelezatan dan manis beraroma itu menjadi penyihir penasaran rasa. Hanya orang-orang kaya di desanya yang punya varietas mangga India itu.
“Spadaa...Bi, mau ambil layangan di belakang rumah, teriak Imam.
Oh iya, hati-hati, jawab Bi Salmah sembari bersih-bersih paseban.
Okeeee..., jawab bocah-boca itu serempak.
Dari dekat, mangga alphonso kian tebar pesona, tanpa ba bi bu lagi mereka naik pohon mangga itu, dan aksi mencurinya terbilang barbar, karena bukan hanya satu dua yang mereka petik, melainkan sekaos oblongnya yang dijadikan bungkus. Barulah mereka turun setelah Bi Salmah menanyakan dari kejauhan dan tanpa mencurigainya. Dan mereka pun bilang terima kasih setelah mangga dilempar ke luar pagar dan mereka lewat gerbang depan dengan berlagak tanpa dosa.
Sore menjelang barulah Wak Kaji dan rombongan pulang dari kebun. Seusai mandi Mas Baim mengajak para pemburu ke halaman belakang dengan maksud hendak memasang beberapa lampu taman di depan gazebo belakang.
Ini sandal siapa?, tanya Mas Baim saat melihat sandal jepet kecil berwarna kuning di bawah pokok mangga.
Wah, keknya ada yang curi mangga mas, timpal salah seorang pemburu.
Setelah tanya-tanya sama pembantunya yang tak tahu-menahu, justru menjelaskan bahwa tak pernah ada yang curi apa pun di tempat itu. Rupanya Bi Salmah lupa tadi pagi Ilham and the gank telah memasuki halaman belakang, maklumlah usianya sudah lanjut, bisa saja daya ingatannya berkurang.
Hari ke dua pembenahan kebun Mas baim mempekerjakan warga kampung yang dibantu para pemburu untuk mengusir babi huan juga ular yang mungkin banyak bercokol di situ. Sejatinya hari Senin adalah hari aktif sekolah, karena ada pertemuan guru penggerak di sekolah Ilham, mereka diliburkan. Di benak mereka kembali ke petualangan di atas pohon mangga Wak Kaji. Tanpa mereka sadari kalau salah satu anjing pemburu sengaja tak di bawa. Rupanya pak pemburu hendak menangkap sang pencuri mangga.
4 bocah itu dengan cekatan memanjat pohon mangga, sementara di bawah sedang ada si gugguk menunggunya. Sambil menyalak anjing itu mengeliligi pohon mangga. Sontak saja bocah-bocah itu ketakutan, mau turun takut, tak turun ketemu; bagaikan makan buah simalakama saja. Terpaksa mereka berlama-lama di atas pohon dengan harapan anjingnya bisa jenuh dan menjauh. Namun harapan itu sia-sia belaka.
Selepas lohor Mas Baim dan rombongan baru pulang, dan ketemulah bocah pencuri mangganya. Sambil senyam-senyum mas Baim ngerjain mereka.
Hai bocah, apa perlu bantal agar kalian bisa tidur di atas pohon itu?
Maaf deh mas, kami ngaku salah, timpal Holil.
Ya turun...gak papa kok
Tapi si gugguk gimana mas?, seru Ubaid
Gak papa paling cuman digigit dikit, canda mas Baim sambil senyum-senyum.
Karena merasa kasihan, akhinya si gugguk di singkirkan. Mereka sambil menangis sesungukan meminta ampun.
Gak papa, kalau pengin ya minta aja, pasti di beri kok, kenapa kok mau mangga itu”
Ya mas, kami salah. Habisnya mangganya menggoda udah mateng, merah-merah kek pipinya Bu Guru, celetuk Imam.
Dasar anak bangor, sambung Mas Baim heran dengan sikap boca-bocah itu.
Awas besok tak laporkan ke Bu Gurumu
Yaaaah jangan mas, nanti bapak dipanggil lagi ke sekolah. Dulu bapakku dipanggil gegara aku merusak paku papan hingga jatuh dan tak bisa dipancang lagi, jawab Ubaid, sambil cengar-cengir.
*************
Tidak ada komentar:
Posting Komentar