Bias bias Cinta DEELA NOOR
Pak Tyqnue Azbynt
Ingin lepas dari keruwetan tugas kantor yang menyandra otakku, memilih ngopi di Orilla Cafe menjadi titiak sasarku. Di lantai atas tersaji mini garden yang sedikit menjadikan healing sukma. Sembari menyesap Raung Arabika Coffe yang menyela hisapan Wismilak rokokku. Tenang dan sedikit melegakan.
This is me time. Bermaksud mencari file lagu dan foto-foto di laptop yang bisa dijadikan modeblat lukisan, kutemukan foto Si rambut panjang Deela Noor, mantas mahasiswiku dulu. Seorang gadis yang dulu pernah menyekap dirinya berhari-hari di kamar, tanpa minum tanpa makan gegara ingin melepaskan pertunangan dengan mantannya. Cerita itu sempat kudengar dari mulut manisnya. Entah kini dia di mana dan berprofesi apa aku tak pernah tahu. By the way, file lama tentang mahasiswi jurusan arsitek itu bukan target yang akan kulukis. Tapi dari balik cerita waktu remajanya justru menjadi titik telisik lain tuk kujadikan cerita novelku. Memang banyak mahasiswi kujadikan sebagai objek lukisan atau inspirasi cerita. And Finally kutemukan tokohnya.
Dengan sketchbook tangan kirinya seorang wanita mojok di sebelah Musala lantai atas dekatku sedang nyantai. Tak tampak wajanya karena gerai rambut panjang menutupinya. Aku tak peduli. Lagu-lagu country rupanya melenakanku, antara tertidur dan sadar aku dikejutkan oleh sapaan manis " Bapak masih melukis kan, ayo dong lukiskan wajahku, ini kebetulan aku bawa buku gambar sket bestek bangunan yang masih ada yang kosong". Sekonyong-konyong saja aku kaget dan sadar ternyata orang yang hendak kujadikan ide cerita malah muncul tetiba di sampingku. Rupanya si rambut panjang itu, yang di dekat Musala tadi. Dia ceritakan banyak hal tentangnya, mulai hal yang umum hingga hal yang teramat privacy. Cinta pertamanya yang gagal hingga kenekatannya yang nyaris membahayaka dirinya. Kini ia heandak healing, ngafe, dan menghayal lepas, eh malah ketemu aku. Sebagai mantan dosennya aku tetap menjaga image, agar tetap berwibawa. Kenekatannya tetap saja dia lakukan, bersanda di bahu kiriku, sembari memainkan pulpen pilot warna merah dia bercerita dan bermanja padaku. " Pak tolong jangan protes, biarkan aku melepas semua keruwetan beban kerja, ijinkan aku bermanja pada dosenku yang sering menyindiku dulu". Kugamit tangannya sembari kebelai rambut panjangnya. " This is me time, kataku, boleh aku cium keningmu, mahasiswiku yang dulu 'nakal' itu?". Dia no coment tapi menarik leherku sebagi pertanda kalau dia tak keberatan. Dan dari peristiwa itu kini kami masih menyinambungkan bias bias cinta kami. Entah sampai kapan harus berlabuh di pelaminan, bukankah kami sama-sama sebagai manusia jomblo. Deela I like that moment.
___
Bondowoso, 13 Nov 23