YARRA TAKDIR CINTA DI PENAMPUNGAN
Pak Tyqnue Azbynt
Turun dari pedati saat malam belum larut di sebuah jalan utama pedesaan tidaklah mengesankan apa-apa. Semua merupakan babitual dan wajar, tapi ketika dibuntuti orang tak dikenal dan lebih-lebih seorang gadis cantik, mungkin kesannya berbeda. Pedati pun berlalu sementara sang gadis justru kian mendekatiku. Perasaan mulai bermain logika-logika tanpa teori. Belum bisa disimpulkan apakah dia orang baik atau orang gampangan.
"Mas saya harus ikut", ucapnya sedikit ketakutan. Dan saya hanya bengong tanpa kekata. Barulah permohonan kedua kalinya aku mulai tersadar dari kebegoanku. Dari tuturnya aku menyadari kalau dia cewek yang baru kabur dari rumahnya. Semula yang kuanggap cewek nakal, perasaanku mulai berubah karena tiap kata yang terbata-bata plus gemetaran. Dia benar-benar cewek kaburan. Konon dia lari saat hendak dinikahkan yang hanya kurang setengah bulan. Kabur dari sebuah Pondok di bilangan Bunder Bondowoso. Sebuah mukena putih berbungkus kresek hitam, menandakan dia kabur saat ritual salat magrib atau Isyak, karena dia mengekor di belakangku sekitar pukul 21.00.
Sebagai mahasiswa di perguruan tinggi swasta yang berada di bawah lembaga Islam, aku tak sembarangan bertingkah demi menjaga marwah kampusku. Kuajak dia ke sebuah pesantren di desa tetanggaku ( Poncogati ), kutitipkan dia ke Kiyai Mas Rois. Kusampaikan ikhwalnya dan beliau cukup memaklumi situasinya.
Esok paginya dibersamai mas sepupu kuberanjak menuju rumahnya di sebuah desa perbatasan Jetis dan Bunder seperti yang dituturkan Yarra. Mulai pagi hingga lohor menjelang tak kutemukan nama gadis yang bernama Humayra seperti saat ditanya identitasnya oleh Kiyai Mas Rois semalam. Badan capai sudah, otak dah mulai setangah menyerah. Pencarian pun mulai diperluas hingga ke Jetis bagian barat. Dari desa itu mulai ada sedikit gambaran. Dari para ABG-lah aku bisa mencari jati diri si Humayra yang ternyata di desanya dikenal dengan panggilan Yarra. Wajar saja kami kesulitan mengenai ikhwalnya karena setiap kami suguhi nama Humayra semuanya bilang tak ada dan tak mengenalnya.
Tangis keluarganya pecah saat kami menyampaikan kabar penitipan si Yarra di sebuah pesantren. Tumpukan kelapa di terasnya dan tumpukan kotak kue, menandakan bahwa memang akan ada hajatan di rumah itu. Ya, acara pernikahan seperti yang di tuturkan Yarra saat kutanya malam itu.
Setelah kami dijamu makanan penuh sajian yang lezat. Kami pun berangkat ke pesantren kiyai Mas Rois, bersama keluarganya hendak menindak lanjuti hal berikutnya. Mondok atau apalah asalkan ada akad penyerahan.
Karena sudah ada pembatalan hitbah ( pertunangan ) dari besannya gegara kaburnya malam itu. Orang tua Yarra lebih tenang dan tak ada beban masalah hajatan. Namun takdir berkata lain justru sesampai di Pesantren itu, justru Kiyai Mas Rois menunangkan dengan seorang ustaz di pondok itu yang alamatnya malah berasal dari desa yang sama dengan Yarra. Dilalah konon katanya dia adalah cinta monyetnya kala SD dulu namun berpisah karena mondok di pesantren yang beda. Yarra menjadi anak Madrasah Aliyah sedang sang Ustaz yang bernama Ali lebih menekuni kitab klasik hingga didapuk sebagai ustaz. Begitulah tulang rusuk telah bertemu di penpungan sementara. Sang Ustaz berjanji hendak mendampinginya hingga di surga Nya kelak. Semua orang di Paseban Kiyai Mas Rois hanya senyum-senyum melihat kekonyolan yang tanpa mereka sadari bahwa mereka berada di dekat seorang Kiyai yang teramat disegani warga. Tapi begitulah ceritanya, kalau cinta sudah melekat tahi kucing pun terasa coklat.
___
Bondowoso, 24 Mei 2023
Tidak ada komentar:
Posting Komentar