Total Tayangan Halaman

Jumat, 26 Mei 2023

GADIS PEMETIK KOPI




 GADIS PEMETIK KOPI

Pak Tyqnue Azbynt


Akhir Juni libur sekolah mulai sudah. Kami Geng Pecinta Alam punya agenda tersendiri tuk mencumbu alam bebas di tempat yang asing dari keramaian kota. Sebuah Fila di lereng Gunung Argopuro menjadi titik sasar kami tuk berkemah selama beberapa hari, karena di sekitar fila itu lumayan datar dan lapang juga ada solar Cell yang menjadi lentera gratis bagi kami. Konon Fila itu milik salah satu pejabat di kota. Kami tak mau ambil pusing tentang siapa pemiliknya yang penting kami berada di luar pagarnya.


Sabtu sore selepas membeli stok makanan di sebuah minimarket dekat kecamatan Curahdami, kami bergegas ke jalan utama menuju Argopuro. Debu dan angin yang menggoda diacuhkan saja karena alam adalah sahabat kami. Kian asyik ketika mendekati area, matahari sudah kian condong. Itu artinya di area kemah nanti kami bisa menyaksikan permainan mural senja saat matahari hendak pulang ke peraduan. Wih asyik pokoknya. 


Sesampai di Fila itu ternyata ada yang tak biasa, biasanya hanya Pak Kasan sang penjaga yang menungguinya, tapi saat itu ada orang bule yang lalu lalang di teras bercat jingga itu. "Wah kesempatan belajar bahasa Inggris ne", begitu pikirku. Kutata mental agar berani berbicara dengannya, karena bercengkrama dengan alam lebih mudah daripada berbicara dengan orang yang beda bahasa.

Ada 2 gadis berambut pirang yang sedang memunguti rumbai bunga ilalang lalu disatukan dalam satu ikatan. Diletakkan di dalam vas rotan, di dalamnya disela bunga Bougenville warna kuning tua, putih dan ungu muda. Sedikit ranting dan beberapa daun kadaka. Kok bagus ya?, Benakku. Karena sudah kian senja aku lebih peduli pada teman-teman yang sedang merapikan persiapan bermalam. 


Memasak tanpa api, mie, dan irisan sosis menjadi menu ala-ala sore itu. Sementara lampu lampu di fila itu menyala sudah. Di ufuk barat langit sudah ungu tua ke abu abuan melapas senyum manja mentari pada kami. Suhu mulai terasa dingin, tapi gadis-gadis bule di sana justru tak kelihatan kedinginan, buktinya mereka tetap memakai casual dress yang lumayan terbuka. Saat waktu Maghrib kami salat jamaah di luar tenda. Demi mendapat atensi orang-orang di dalam fila, kusuruh Nazil azan Maghrib dulu, karena suara sang juara Muazin tingkat kabupaten itu bisa menjadi hal lain yang bisa ditawarkan pada mereka. Dan benar saja salah satunya datang ke tenda kami dengan dibersamai Pak Kasan. "Ben je muslim?", "Ik ben Muslim". Katanya. Aku ora paham, dan kujawab dengan senyuman saja. Barulah kutahu bahwa dia berbahasa Belanda setelah disampaikan Pak Kasan tentang asal muasal none-none itu.

Malam pun tiba, bayangan tuk berbincang dengan gadis asing itu kukubur saja. Kami lebih menikmati desau angin malam sembari mengembarakan mata ke langit malam. Jaket wol plus tutup kepala dengan topengnya menjadi peneman malam kami. Nun disana kudengar gonrang-ganreng permainan gitarnya yang sebenarnya tak merdu sama sekali. Brisik. Dan malam pun kami lewati dengan bergantian berjurit malam. 


Subuh tiba, kembali Nazil kami suruh azan subuh. Masyaallah,suaranya benar-benar merdu. Menyeruak memecah hening. Kalaupun ada suara itu hanyalah burung malam, lolongan anjing di kejauhan, dan jangkrik yang berzikir menikmati malam. Subuh kali itu  benar-benar syahdu, tak ada suara loadspeaker masjid atau musala, yang ada hanyalah akustik ocehan alam. Zikir istighfar yang dilantunkan Nazil seperti meruntuhkan hatiku. Terasa kali aku bukan sesiapa, sedang hasrat penghambaan justru menjadi-jadi.


Di tengah keasyik-masyukanku mengikuti zikir jelang salat, kami dikejutkan sekelebat sosok wanita berjubah putih. Kehidmatanku buyar seketika. Hantu atau jin-kah ini?,pikirku. " Ik ben Muslim, ...salat en jamaah", katanya. Aku Ra paham, yang kutahu dia sudah memakai mukenah dan membawa matlas untuk berjamaah dengan kami. Aku menyimpulkan sendiri kalau mereka juga muslimah. 


Salat pun usai sudah. Kami diajak dengan bahasanya yang aku tak paham sama sekali, tapi tarikan tangannya agar kami ikut ke Fila itu. Dan kami mengikuti saja. Dari  foto-foto di ruang depan itu aku baru tahu kalau dia orang Belanda. ( Heh gagal deh belajar Englishnya). Saat Pak Kasan menjelaskan kalau kedua gadis itu adalah cucu dari pemilik Fila dan pemilik kebun kopi yang ada di lereng sebelah utaranya. Kakeknya orang Belanda sedang neneknya pribumi tapi sudah meninggal. Sementara ayah ibunya sama-sama dari Belanda, namun tiap libur musim panas bisa dipastikan mereka ke Fila di lereng Argopuro itu untuk memetik kopi miliknya, walaupun hanya untuk gaya-gaya dan berfoto-foto.


Sulit berkomunikasi, akhirnya aku menjadi ilustrator dari apa yang dibincangkan aku dan kawan-kawan. Melihat sket ilustrasiku yang spontan dan lumayan bagus, menjadi berkah tersendiri bagiku, karena mereka justru mengambil sketchbook dan pensil karbonit dari lacinya agar melukis wajahnya. Dua gadis bule nan elok menjadi objek modelku. Wah kesempatan memelototi wajah western-nya. Hemm benar-benar mulus, ( owh off the record ). 


Lukisan sketsa usai sudah, di pojok kanan bawah kutitipkan namaku. Mereka begitu girangnya menyalamiku sembari memelukku dari kiri dan kanan. Saat itu mereka mengenalkan namanya, " Ik Anneke, en Ik Anelen". Entah apa maksudnya, tapi jelas Pak Kasanlah yang membuatku tahu kalau mereka Non Anneke dan Non Anelen.Oh ya ternyata pelukan cewek asing itu telah membuat detak jantungku kacau tanpa irama. Apakah aku kesambet cinta?, Entahlah.

___

Bondowoso, 26 Mei 2023




6 komentar:

  1. Senang bisa diajak sejenak berimajinasi berada di vila, alurnya menarik, temanya tidak terlalu berat, tetapi ide kreatif baru karena ternyata kopi selalu bisa menginspirasi cerita. Keren Pak👍👍👍. Terus berkreasi dan selalu tebar inspirasi.

    BalasHapus
  2. Asyik bacanya.. Terima kasih untuk ceritanya, pak.. 😊💙

    BalasHapus

PERJALANAN DI HUTAN PINUS

 PERJALANAN DI HUTAN PINUS  Pak Tyqnue Azbynt  Erkantina wanita yang kuidamkan sejak aku  SMA itu kini benar-benar bersamaku. Momen saat dia...