Total Tayangan Halaman

Selasa, 14 Juni 2022

Venya Dushenka


 VENYA DUSHENKA

Pak Tyqnue Azbynt

          Matahari barulah sepenggalah saat kami keluar dari bus yang telah memabwa kami ke Nusa Dua yang sebelumnya tak pernah aku bayangkan hendak ke Pulau Dewata itu.  Kelelahan telah menyandraku saat arus pasang yang menghardik-hardik perut kami ketika  di Fery yang membawa kami dari Ketapang ke GiliManuk. Keindahan gemerlap lampu kapal yang berlayar di selat Bali menjadi kurang indah karena arus pasang yang menggoda kami terlebih lagi hujan yang mencumbu laut dengan derasnya. Di tengah kecemasan itu, masih aja ada kelakar teman-temanku yang mencoba menghibur diri. Mereka adalah alumnus dari Pesantren Al Maliky di Bondowoso yang hendak bereuni di Nusa Dua wisma dari salah seorang sahabat kami dari Bali.  Hampir seribuan alumni santri yang turut membersamaiku ke pulau yang penuh pesona itu. Kutampak rekan-rekan sudah pada keluar dari armada bus masing-masing lalu memilih rest area tuk berfoto ria di pelataran tempat ibadah beberapa agama. Aku mengira di tempat itu hanyalah tempat ibadah bagi saudara-saudara yang beragama Hindu dan Budha, ternyata beberapa agama dalam satu kompleks. 

          Asap dupa menyapa indera ciumku, sesajen di mana-mana serta aneka corak gaya wisman beradu temu di tempat itu. Setelah menyantap sedikit kudapan yang kami bawa barulah bergegas menuju pelataran depan Masjid Ibnu Batutah.  Masjid dua lantai itu menyambut kami dari beberapa pintu.  Entri timur terdapat tangga yang langsung mengarah ke lantai atas dan juga ke lantai dasar.  Di sisi kanan ada name-board besar bertulis Masjid Ibnu Batutah Nusa Dua Bali.  Saat kulangkahkan ke lantai dua kulihat banyak sahabat yang telah tunaikan shalat dhuha, ada yang sedang bermunajat diantara sahabat lain yang sedang sibuk dengan gawaynya. Bergerak ke sisi kiri tampaklah gereja yang hanya di batasi pagar setinggi dada dan bepagar terali. Tampaklah  saudara Kristiani sedang melantunkan kidung-kidung kebaktian.  Di tengah-tengah pagar itu ada  pintu kecil yang menjadi jalan penghubung antara jamaah dan jemaat kalau bergerak sedikit kebarat akan bertemu dengan gerbang masuk untuk kedua tempat ibadah itu.  

          Di sisi gerbang utama tampaklah beberapa patung dan pohon pohon yang ditata artistik menambah elok view di sisi kanan kiri jalan itu. Banyak pelancong swafoto di beberapa patung dan pepohonan dengan gaya-gaya alaynya.  Sedikit ke selatan tepatnya di depan pagar gereja tanpak seorang gadis bule yang sedang asyik melukis dengan gaya natural.  Melihat orang sedang melukis tanganku searasa gatal ingin ikutan. Yaah dasar budak seni gampang menemukan mood kalau melihat aktifitas seninya orang lain. Tanpa terasa tetiba aku sudah di dekatnya, tak sadar kalau sedang melangkah padanya.  Yang membuat aku kaget saat dia malah menyapa ramah duluan. Wih... gadis bule cantik, rambut pirang kulit bening kemerahan dengan kaos hitam bertulis  Bali Island , celana taktis abu-abu plus songkok  berwarna senada dengan celananya. 

           hi...., excuse me..., are you Indonesian?

           yap Im Indonsian...exacly Im Javanesse the east province of Java. I like your paint . 

           oh .... come here please, I will show you how to make nice paint, katanya. Padahal lukisannya masih kurang matang, masih bagusan punyaku, pikirku. Kuturuti saja apa perintahnya, aku merapat dan justru aku tertarik pada molek wajah dan bodynya yang aduhai itu. 

            by the way, would you like to tell me where do you live ?

            oh sorry, Im Russian my names Venya ...Venya Dushenka .

Keseruan-keseruan ringan sudah bermula, bincang santai sekitar dunia lukis dan budaya antar dua bangsa menjadi pengakrab kami. Aku sudah mulai asyik dan bahkan mengacuhkan rekan-rekanku dalam satu rombongan. Sembari menemaninya melukis , kucuri-curi moment tuk mengambil wajahnya via my cameraphone.  SubhanAllah  cantik kali, senyumnya yang selalu muncul ditiap pembicaraannya terekam jelas oleh HP-ku. Memang sih, sebelumnya aku sudah mohon ijin jika diantara pembincangan kami, aku sempatkan mengambil gambar wajahnya.  Rupanya aku sudah terlalu asyik dengan situasi itu, sampai-sampai aku tak mengikuti ceremonial pembukaan di dalam masjid yang disampaikan oleh bapak Anak Agung seorang Pemangku Adat  yang kebetulan beragama Hindu itu.

          Tetiba HP-ku berdering saat panggilan masuk dari Dr. Umar sang ketua rombongan. Dia memohon semua peserta merapat ke ruang temu di lantai bawah dekat pustaka masjid itu.  Kali ini aku mengikuti arahan komandan itu, dan dengan terburu-buru aku pamit undur dari Venya, yang masih separuh lukisannya itu. Keterburu-buruanku itulah yang mengakibatkan handbag-ku hilang, enah terjatuh dimana, and finally sudah kuanggap hilang selamanya.

          Catatan-catatan perjalanku di diary coklat tua itu pun musnah. Padahal di dalamnya aku sudah banyak menuliskan idea-idea yang kudapat sepanjang perjalanan. Semua catatan itu kutulis dengan English dengan maksud untuk belajar di tempat yang banyak wisman berbahasa itu.  Besar harapanku taklah terjadi apa-apa karena di dalam diary itu banyak identitas penting termasuk nomer HP-ku,  keluarga dan orang penting lainnya. 

          Acara yang meriah itu menjadi hambar bagiku, karena handbag yang hilang plus belum tertuntaskan bincang dengan si cantik Venya. Beruntung HP kusakukan. Demi mengusir badmood kusempatkan membeli sketch book dan classic steadler colour pencils di sebuah stationary saat menuju rumah tuan rumah sahabatku di Bali itu.  

          Sekitar pukul 12 siang kucoba corat coret sedikit sketsa wajah  Venya. Hatiku berkata  tak biasanya aku melukis sketsa  secepat itu .  Kupilihkan gambar yang terbaik di HP-ku dan aku benar-benar bermain dengan lukisanku .  karena berburu waktu tuk ke Pantai Pandawa, sketsaku kutuntaskan di perjalanan. Arsir, dussel, pointilis dan semua teknik lukis kucoba demi hasil yang maksimal, tapi dari getaran bus yan kami tumpangi kerjaku taklah maksimal.

          Indah perjalanan sama sekali tak terekam di benakku karena asyik mencoret sketsa yang hendak kujadikan lukisan itu. Rekan-rekan yang riuh ramai bercerita keindahan penjalanan hanya kutangkap dan lepas kembali dari ruang dengarku.  Hingga sampai ke spot yang direncanakan yaitu Pantai Pandawa, gairahku seperti mati, kecuali asyik dengan corat-coretku.  Saat turun bus dan semua ramai menuju pantai nan elok itu.  Kupilih tempat yang teduh di parking area tuk melanjutkan lukisanku.  Baru saja membuka pencilbox, tetiba ada panggilan nomer asing di gawayku.  duh benar dugaanku, bakalan ada orang yang memanfaatkan nomer HP yang ada di handbagku.  Aku acuhkan saja karena terlanjur niat tuk melukis, tapi karena berulang aku reject aja. Dan ternyata masih lagi dan lagi, yang membuatku geram saja. Demi menuntaskan kegeramanku, akhirnya ku-video call, eh ternyata si Venya sudah misam misem yang rupanya ada di gerai souvenir di Pantai Pandawa juga.  Melihatku sedang membuat lukisan wajahnya , dia malah minta google map padaku.  Tak sampai 5 menit dia telah tiba sembari memelukku dari belakang kegirangan karena aku melukis wajahnya.  Andaikata rekan-rekan alumni pesantren sedang melihatku, tentunya aku akan malu.  Masa sih cewe asing tetiba pas meluk meluk sok akrab gitu, kan aku guru pesantren?. 

         Keseruan kian menjadi, saat kami saling berbincang sekitar lukisan . Tak terasa waktu telah 1 jam-an  kulewati.  Mungkin karena saat aku melukisnya, dia melabuhkan kepalanya di paha kiriku. Asyik ... tak bisa kugambarkan rasaku kala itu. Bayangkan..., keseharian yang biasanya  hanya asik mengajar di pesantren dan bergelut dengan para pencari ilmu agama, kini bercengkrama dengan cewek Russia yang gemoy, bayangkan !. Dadaku dag dig dug der terasa. Terlalu singkat rasanya waktu belalu. 

        Saat komandan lapangan memanggil kami semua agar merapat tuk persiapan pulang barulah aku sadar bahwa kami sudah lama bercengkrama dengannya. Dia mengembalikan handbag-ku dengan meminta imbalan agar lukisan itu kuberikan padanya. 

           sure of course  this is for you, but  would  you  like to give me something as souvenir?  pintaku.

           come on....come here, jawabnya sembari merentangkan tangannya. 

Aku pun bergegas, dengan harapan diberikan sesuatu benda berharga darinya. Namun ternyata dia malah memelukku erat sembari menciumi pipi kanan kiriku seraya berujar,  I will back here some times,  I want to be Indonesian . 

Kekatanya membuat saya terperanjat kaget. Sungguh  perkenalan di depan Ibnu Batutah Mosque itu telah menjadi  penyadera  hatiku padanya si gadis Russia itu, apalagi kini justru berujar hendak kembali ke Indonesia ini.

                                                  ________________

Bondowoso, tengah April 2022

         

2 komentar:

PERJALANAN DI HUTAN PINUS

 PERJALANAN DI HUTAN PINUS  Pak Tyqnue Azbynt  Erkantina wanita yang kuidamkan sejak aku  SMA itu kini benar-benar bersamaku. Momen saat dia...