Photo source. Kompasiana.com
DOSEN vs TUKANG PARKIR KAMPUS
Pak Tyqnue Azbynt
Menjelang shalat asar kulangkahkan kaki ke masjid kampus yang masih dalam satu area di pesantren tempatku mendedikasikan hidupku. Sembari menikmati cumbu angin yang memesrai wajahku, kusempatkan menulis blog via gawaiku. Banyak mahasiswa yang mulai berseliweran di area petirtaan wudhu. Dosen dosen pun satu persatu mulai mendatangi masjid dengan nuansa etnik Jawa itu. Menuntaskan sisa penat pasca mengajar kumasih duduk di bawah pohon mangga gadung yang berada di sisi kiri masjid, tepatnya di parking area.
Betapa bangganya aku saat melihat yang dulu adalah murid kesayangan para guru kini telah berevolusi menjadi dosen dengan gelar Doktor. Taklah heran jika mereka menduduki jabatan itu karena mereka rata-rata samrt boy. Sebelum ke petirtaan masih saja menundukkan kepala saat lewat di depanku. Berdiri di belakangku seorang tukang parkir yang dulunya juga muridku yang nakalnya minta ampun. Mereka kelewat bar bar dan membuat kami super mangkel. Kontradiksi jabatan telah mereka raih sesuai dengan kegigihan saat di bangau sekolah dulu.
Tukang parkir yang dulu super nakal itu tak mau mendahului langkahku, dia memilih mengekor dan meminta tas kantorku tuk dibawakan. Sampai di shaff shalat pun dia memilih di belakangku, sementara sang dosen merapat ke shaffku. Usai lantunan dedoa mereka para dosen itu masih menyalamiku sembari senyum sebentar. Barulah kemudian si tukang parkir meraih tanganku disalaminya dengan berkali dibolak balik sembari diciuminya. Yaa Allah yaa Rabb, kenapa yang tukang parkir lebih menghormatiku, lebih tulus, bahkan berjalan sejajar saja tak mau. Tundukkan kepala dengan kehidmatan yang dalam, sedang sang dosen hanya tundukkan kepala dan tak sampai tengkuknya membungkuk. Air mata bercucuran melihat kenyataan, bahwa ketulusan itu jauh lebih menyentuh ke lubuk hati tinimbang bergaya perlente tetapi menjaga prestige dirinya di atas penghormatan pada seorang guru.
__
Bondowoso, Ultimo Juni 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar