ISEH DAN AYESHA
Pak Tyqnue Azbynt
Duduk nyantai di taman kota sembari memandangi Bougenville Golden Rao yang memukau mata menjadi penyanding rasa di sore itu. Nun di sebelah Utara tampak dua mahasiswi fakultas sastra yang tak asing bagiku. Iseh dan Ayesha, mereka sama sama indo Kazakhstan, bapak mereka sama-sama berbapak pekerja migran yang kemudian menyunting dua cewek Asia tengah nan jelita.
Iseh Gulzhan lebih mengindonesia dengan julukan Isehnya, sementara Ayesha Zhanar* sama sekali tak tampak panggilan lokalnya. Memang basis nama mereka sama merujuk pada nama Aisyah tapi dengan pelafalan uzbeknya. Alasan kedua bapaknya sama benar, yang satunya biar kelihatan lokalnya yang satunya biar kelihatan negeri ibunya.
Kang Joko ayah Iseh punya alasan sederhana tapi mengena yaitu biar cinta Indonesia dan lebih mudah mengurus naturalisasinya, walaupun kenyataannya ya sama saja. Sementara mas Joni memberi nama anaknya Ayesha Zhanar biar tak seperti cewek lokalan. Kedua cewek itu sama-sama membawa perawakan ibunya yang tinggi dan cantik, mata hazel rambut pirang dan kulit putihnya. Yang membedakan lainnya adalah Iseh berbahasa Jawa medok sementara Ayesha berbahasa Turkey dan Kazakh. Dua cewek itu begitu iconic di fakultas Sastra Nusantara dengan bahasa Indonesia, Melayu, Tagalog, dan Thay. Keduanya sama betah tinggal di Indonesia.
Di Jalan HR. Rasuna Said, Kuningan Jaksel kembali lagi kubertemu dengan mereka. Tumben mereka memakai busana batik saat berada di kav. 5 Kantor Kemenkumham. Benakku beritanya-tanya ada apa dengan gerangan mereka berdua?. Aku yang sedari dulu ingin lebih dekat dengan meraka sontak saja bergegas. Senyampang lagi mengurusi ijin yayasan pendidikan di tempat yang sama.
"Eh ellu ngapain di sini?"
"Hmmm proses naturalisasi deh", timpal Ayesha dengan logat asingnya.
"Dan ellu?"
"Podho mas pengen dadi wong Indo koyok bapakku, kan kene nganut sistim Ius Sanguinis?"
Benar saja proses Iseh lebih lancar tinimbang Ayesha karena komunikasinya lebih sat set. Dan akhirnya akulah jadi malaikat penolongnya, lagian kesempatan takkan terulang, ya gak?. Kumanfaatkan moment itu, sembari menggandeng tangannya kudampingi dia sampai kelar, walaupun begitu melelahkan.
"Oh yaa trim ya bantuannya, mesti balas apa aku ini?"
"Aah ga perlu kok, hmm tapi boleh gak aku cium keningmu cah bule?"
Heem boleh aja ga papa kok"
"Cuit cuiiit, masse modus bok...", celetuk Iseh sembari nyengir manis.
__
Bondowoso, 1 Ramadhan 1446
Tidak ada komentar:
Posting Komentar