SERIGALA BERWAJAH BIDADARI
Pak Tyqnue Azbynt
Terjabak dalam pusaran rindu adalah labirin yang akan merusak nalar kita. Walau terasa asyik dan menantang tapi justru merusak otak dan perasaan kita. Aku adalah korban di pusaran rindu itu, seorang wanita muda selalu menyintaskan senyum manisnya. Kekatanya biasa seakan begitu polosnya hingga kupercaya ia adalah bidadari yang sejinak merpati.
Demi menuntaskan tuntutan rindu, kucoba memanjakannya. Kuacuhkan saja protes otakku yang mengatakan aku bukan prioritasnya. Mungkin karena senyum itu sudah menjadikanku setengah gila. Sering kumanjakan dia, dalam jalan yang tak dikenal orang. Sekali, dua kali bahkan berkali-kali kulihat sikapnya masih datar. Hatiku mulai ragu dan menyetujui kekata otak ini. Dia tak pantas diperhatikan, namun hatiku terlalu terobsesi olehnya. Banyak teman medsosnya yang mulai menerorku dengan hal-hal yang tak penting. Tiap kulihat akunnya tengah malam yang masih online, begitu pun mereka yng sering menerorku, dan anehnya off sering berbarengan.
Suatu sore kulihat seorang lelaki yang berkunjung ke rumah bapaknya, dia berkata kalau teman waktu sekolah, padahal aku tahu mereka sekolah di tempat yang beda. Dan semua keluarga percaya akan hal itu. Otak dan hatiku kali ini sudah mulai sepaham, bahwa aku dan para lelaki pengagumnya hanya dijadikan tumbal senyum beracunnya. Tuturnya yang biasa lancar berkunjung ke inboxku kini telah tak ada lagi.
Healing di dunia menulis dan melukis sedikit membantu menenangkan hatiku, walau masih terasa nyeri juga di ulu hati ini melihat kenyataan itu. Namaku yang sempat rusak karenanya, kini menyadarkan kembali akan kehaluanku tentangnya. Jamah tangannya, sentuhan pipinya, perlahan hilang dari file memoriku. Sampai aku menulis senandika ini, aku tak tahu bagaimana cara melepaskan dari sengkilit senyumnya yang lama menuba hatiku. Mungkin kenangan merah maroon dan cendera mata abu-abu darinya dulu yang telah memasung perasaanku.
____
Bondowoso, 25 10 24