BEGAL GAHARU
Pak Tyqnue Azbynt
Tanah perdikan itu selalu saja menghadirkan banyak masalah. Cekcok dan sengketa batas wilayah acapkali menjadi riak perseteruan yang bak bara sekam saja. Saling ghibah di luaran sudah menjadi habitual yang tak elok tuk dilanjtukan, namun selalu saja ada pemicu yang menyinambungkannya. Konon tanah yang bagai tak bertuan itu sejatinya masih ada ahli waris yang diabaikan dan justru di-claim sepihak oleh salah satu klannya.
Menelisihi kenyataan yang sudah kasat mata saja dianggap tak bakalan menjadi perhatian publik. Nun di batas seberangnya ada lahan persawahan yang kini mengering gegara kanalnya selalu ditimbuni tanah dengan perlahan. Warga pemilik sawah pun memilih mengalah tinimbang mempuk permasalahan yang tak berkesudahan.
kali ini sudah menjadi kian nyata keserakahannya para penguni tanah perdikan itu. Pokok baharu yang berada di balok batas itu tumbang sudah, padahal sebagian besar berada di lahan sebelahnya Tiga lelaki anaknya yang sejatinya pernah nyantri itu la kalam wala salam telah secara sepihak menggunakan chaisaw merobohkannya. Deru mesin potong itu memekakkan teliga tetangga sekiarnya. Kabar menjadi viral setelah diketahui warga sekitar ternyata yang memotongnya bukan pemilik sahnya. Kasak-kusuk mulai merebak, namun sang pemilik lebih memilih diam dan hanya dibincangkan dengan kluarganya tinimbang berkeluh kesah ke orang lain yang hanya memperkeruh suasana.
Bu, pohon gaharu yang harga jutaan itu telah tumbang, kata Mang Ilyas.
Lho, kenapa pak? Apakah kena angin kencang? tanya istrinya.
Gak.
Ya Allah pak, tiga lelaki itukah yang memotongnya? tanyanya.
Ya begitulah, jawab suaminya singkat.
Gimana neh, kita mesti ngapain, sambung istrinya.
Serahkan saja pada Gusti Allah bu, mau gimana lagi.
Banyaknya tetangga yang diam-diam menanyakan telah menggoyahkan pedirian keluarga Mang Ilyas. Berbagai bujuk yang masuk ke telinganya telah merusak kejernihan nalarnya. Mau dilabrak taklah mungkin karena tak elok selalu berebut urusan dunia. Yang satu bilang ini soal harga diri dan soal hak, di pihak lain lain ada menyuruh pasrah saja. Bujukan-bujukan itu benar-benar mereduksi otakya.
Selepas subuh didatanginya puing pokok gaharu itu. Dalam hatinya berkata “ternyata takdirmu bukan menjadi milikku. Munculnya orang yang kebetulan lewat di tempat itu memanaskan suasana. Dia bilang agar tak membiarkan kebiasaanya yang serakah itu. Bukankah lahan persawahan itu mengering gegara kuarga yang sok kuasa atas tanah perdikan itu? Saat pulang ke rumahnya, Mang Ilyas hendak membujuk istrinya agar melabrak tetangganya, namun telepon dari anaknya yang di rantauan agar mengirimkan uang tuk biaya pendidikannya. Dan, permasalahan pun pudar seketika. Mereka lebih berkonsentrasi pada kebutuhan anaknya.
Mungkin karena usianyalah yang menjadikan Mang Ilyas memilih diam, demi memberi tauladan untuk anak cucunya. Dia hanya berkata pada keluarganya Kasihan dengan status kesantriannya, yang harus mereka taggalkan seperti tumbangya pohon gaharu itu. Kita diam bukan berarti kita ikhlas tapi karena keterpaksaan atas nama umur yang sudah kian menua dan hanya menunggu purna usianya saja. Semoga anak cuccu kita tidak aa yang serakah dan menegasikan kepemikan orang lain, jelasnya sembari menyesap bibir gelas saat mencumbu kopi hitam buatan biddarinya.
_______
Rumah seni Latansa, 7 Mei 2024
Tidak ada komentar:
Posting Komentar