DRAMA DI MALAM PERTAMA
Pak Tyqnue Azbynt
Semula aku mnganggap beberapa lembar daun pacar di mangkuk kecil dalam kamar adalah pelengkap estetika pernikahan kami walaupun sebenarnya telah menggunakan pasta dengan merk Hena. Ya memang dulu masih jaman kuno memakai tumbukan daun pacar yang dicampur dengan gambir, tapi kan sekarang sudah ada Hena dan sejenisnya? Aku memilih tak begitu peduli akan hal itu.
Pernikahan kami adalah sebuah keterpaksaan belaka. Aku memilih menikah gegara permintaan ibu saat beliau sakit parah, sedangkan dinda dipaksa oleh Pak Lik saudara ibu mertuaku almarhumah. Dinda seolah-olah manut saja, karena beliau yang telah membiayai studinya hingga perguruan tinggi. Di hadapan keluarga kami bersikap damai dan tampak harmonis selalu. Tapi saat di kamar justru kami bagaikan Tom and Jerry yang tak pernah damai. Dinda tidur di bed sedangkan aku tidur di lantai. Aku memilih megalah karena dia mengancam akan bunuh diri.
Prosesi pernikahan kami pas malam tahun baru. Malam Senin selepas acara sekitar pukul 23.00 para sinuman tak memilih rehat karena menunggu malam pergantian tahun. Sebagian besar bergeser ke area barat rumah kami tepatnya di jalan pavingstone di lingkungan kami. Dinda istriku memilih bergabung dengan mereka, namun Pak Lik memarahinya agar segera istirahat.
Kakang jangan apaapain aku, kalau tak ingin ada berita kematian, ancamnya.
Up..., ya oke, aku coba memahaminya, toh aku pun tak kebelet cinta. Selama ini aku belum pernah tidur sekamar dengan wanita mana pun, namun ketika seruangan dengan seorang yang bernama istri pikiran mulai mengembara. Mata mulai teruju pada sesosok gadis usia 20 tahun yang sedang terlentang pulas. Pipinya yang merona, serta lekuk tubuhnya menyihir perasaanku. Temaram lampu menyahdukan malam itu.
Tempelan daun pacar yang sudah digunting benttuk gerigi di pinggirnya itu ditempatkan secara acak di lehernya. Reaksi minyak angin yang dioleskan ke daun pacar itu telah menjadi sablon monoprint di bagian lehernya. Atas permintaanya kami melakukan keramas sebelum subuh demi membahagiakan keluarga. Setelah ngopi pagi baru aku memahami strategi daun pacar itu saat cewek-cewek di teras depan menggojlognya. Yee, stempel ritual cinta semalam neh, yah bikin kami-kami pingin nikahan juga, selorohnya. Anggota keluarga hanya senyum-senyum bahagia.
Menikmai Djie Sam Soe yang sesekali disela dengan kopi hitam, kukembarakan angan-angan ke langit 3. Anganku jauh ke drama semalam, inikah takdir itu? Kuambil gawai sekedar membaca-baca biografi tokoh-tokoh dunia di internet. Tetiba aku dikejutkan bunyi piring yang menyentuh meja kecil di hadapanku. Asap goreng pisang di atas piring bergoyang dicumbu angin.
“sila didahar kang, katanya sok ramah dan mesra. Karena ada beberapa anggota keluarga, aku pun bisa main drama. oh ya terima kasih say, tolong ambilkan rokok di atas bufet kamar. Kulirik dia seikit ketus, sedang aku seyum bangga.
Dua pekan berlalu, hari-hari kami dilewati tanpa cerita indah yang berarti selain jamaah tiap salatku di ruang tengah. Selepas dedoa dia menyalamiku seakan mesra karena semua keluarga menjadi jamaahku. Saat seperti itulah kurasakan kelembut an dan kehalusan tangan bidadariku.
Mungkin karena kekesalanku, saat di ruang salat keluarga ide nakalku muncul jua. And one again, dia sedikit menyingkap mukenah tuk sekedar menunjukkan noktah merah palsu di lehernya pada keluarga. Kugamit tangannya sembari kunakali dengan pertanyaan, Kapan kita punya momongan ya? Dia sedikit merengut dan sekelebat mendelik memarahiku dalam gestur.
‘Duaarrr tetiba suara petir seakan di atas wuwungan rumah, dan dia loncat memelukku. Hmm rupanya dia astrophobia atau penakut suara petir. Keringatnya dingin dan bercucuran di keningnya. Pelukan eratnya menceritakan ketakutannya tanpa kata. Nafsu nakalku muncul seketika. Kecium keningnya seraya kubelai rambutnya yang sudah menanggalkan mukenahnya. Wangi tubuhnya menambah nafsu nakalku. Namun hujan yang mulai terang dan suara petir mulai jarang, dia melepaskan pelukannya padaku. Dalam hati kumeminta, Oh Tuhan di mana sura petir-Mu.
Drama malam pertamanya boleh sukses, tapi sejak aku tahu kelemahannya aku mulai mencari-cari akal bulus. Tiap malam aku selalu menggunakan baju tidur yang selalu aku semprotkan Avon fifth avenue agar aromanya lembut mesra. Tiap malam menunggu petir membentak alam, namun jarang terjadi, mungkin karena di bulan Januari 2024 ini mengalami musim hujan kering atau Elninu.
Sudah beberapa malam harapanku tak dikabulkan alam, toh kalaupun hujan petir tak ikut hadir, sedangkan harapanku sudah merambah ke titik nadir. Otakku mulai terasa tak beres. Kubawa membuat lukisan, mengaransir lagu, atau sedikit menulis flash story, namun hasilnya kering dan sepi estetika. Aneh memang, keseharianku menjadi tak produkif dan badmood saja. Akhirnya kupilih mencumbu digital TV di ruang tengah. Menyaksikan National Geographic justru memberikan inspirasi. Menyaksikan tayangan hujan di Sungai Mara dengan petirnya yang menggelegar merambah ke otakku. Dengan suara yang tak begitu keras, kucoba koneksikan dengan suara Subwoofer di home theater, hemmm, menggelegar. Tapi kalau ada keluarga yang lain, kan bisa mengganggu keluarga +62.
Otakku mulai diracuni skenario yang tak bisa kueksekusikan segera gegara ada banyak penghuni di rumah. Saat menanti begitu terasa panjang, sedangkan huajn dan petir justru kian jarang. Dalam hati protes, kenapa alam tak peduli padaku. Sampailah suatu ketika, saat keluarga mertuaku menginap di keluaga yang lain karena ada hajatan. Istriku sejak siang sudah mengancam agar aku jangan macam-macam. Apapun ancamannya aku acuhkan saja, dan aku berlagak seakan menurutinya.
Malam pun tiba, hatiku begitu riang menyongsong senyap malam lalu lelaplah biadari titipan mertuaku. Rupanya dia terlalu curiga akan terjadi sesuatu, dia memilih membaca buku-buku novel di pustaka pribadiku. Untungnya dia tak tahu nama pena yang aku sematkan di tiap karyaku. Aku pura-pura menyegerakan tidur, sedangkan timer TV telah kusetting timer pada sebuah kanal Youtube tanpa iklan yang menayangkan hujan di Sungai Mara.
Mungkin karena mendung yang begitu rendah malam itu, suasananya begitu gerah, dan pantaslah kalau kutanggalkan bajuku, bahkan tanpa singlet melekat di tubuhku. Celana bokser biru tua bertuliskan Nike yang kukenakan menjadi pembalut tubuhku. Mataku yang sudah terjajah kantuk menjadikan sukma di ambang sadar.
Duarrrr, duarrr..., bruggg aku dikagetkan gelegar suara subwoofer di ruang tengah namun yang lebih mengejutkan saat Dinda loncat dan menghimpit tubuhku.
Ya Allah. Baaang, dinda takut, kok petirnya lama banget, gumamnya. Tenang ada abang” sambungku.
Kok abang juga deg degan, memang juga takut?
Iya dind, aku akut khilaf saja, makanya jangan terlalu rapat dindaaa, sambungku sembari memeluknya dengan lembut. Dia hanya menatapku penuh harap agar tak melepaskan pelukanku. Untuk berapa kalinya aku pura-pura agar merenggang dariku.
please deh bang, biarkan aku tetap menggelayut, bujuknya
“iyaa deh demi bidadari aku bersedia dan tak akan nakalan padamu”
Mungkin karena merasa aman dan nyaman, dia mulai tersenyum.
“ Bang, aku merasa terlindungi di dekapan abang, aku rela menjadi pelayan abang di rumah ini dengan setulus hati, mencuci, memasak dan lainnya”.
Aku tak minta itu semua, aku hanya takut khilaf malam ini.
“ Owh begitu yaa?, suaranya lirih. Kugamit tangan kanannya, letakkan di dadaku sebagai tanda ketulusan. Dan ternyata dia mencium bahuku malu-malu. Perlahan dia tindihkan pipinya ke dadaku yang kian bergemuruh.
Bang, aku pasrah, katanyasembari menyibakkan rambut panjangnya. Gemuruh suara di dadaku mengalahkan suara subwoofer di ruang tengah.
Menjelang subuh dia membangunkan aku, mengajak keramas sebelum salat subuh. Walaupun kulihat dia seperti menahan nyeri, tapi rupanya tak memprotesku. Noktah merah di lehernya kali ini bukan dari daun pacar seperti dulu-dulu. Seusai subuhan dia rebah di pahaku penuh kemesraan.
Aah Dind, jangan tiduran begitu, aku takut khilaf, selorohku, dan dia protes genit sembari mencubit pahaku.
Moga ada petir lagi, candaku.
Yeehhh ga usah nunggu petir, but yang lembut yaa, theres a little pain here, sambungnya sambil melempar tasbih ke wajahku dengan nakal manja.
Kami terjaga agak kesiangan. Dia kaget karena di halaman tak ada bekas air hujan. Sampai cerita ini kutulis, dia tak ahu sebenarnya skenario tersebut. Aku sebut kalau dia halusinogen dari bacaan novel percintaan.
“iiih gak kok, sambungnya penuh keheranan, dan dia menganggap bahwa suara petir itu adalah bisikan malaikat cinta di hatinya.
__________
Bondowoso, pekan terakhir Desember 2023