GADIS PEMETIK KOPI
Pak Tyqnue Azbynt
Lereng Argopuro yang eksotik itu sering dijadikan wanawisata oleh para muda yang lebih menginginkan suasana menantang. Alurnya yang masih alami menjadikannya keindahan yang masih perawan. Jauh sebelum Indonesia merdeka ternyata di sana telah dijadikan area perkebunan kopi oleh tuan tanah Belanda. Kini yang tersisa masih ada perkebunan itu walaupun di tangan warga sudah tak seintensif dulu pengelolaannya, apalagi masyarakat Bondowoso lebih melirik ke wilayah perkebunan kopi di Ijen dengan Raung Arabicanya. Perkebunan yang besar juga bermula sejak jaman kompeni. Layaklah kalau Bondowoso disebut Republik Kopi.
Beda Ijen beda Argopuro. Ijen di belahan timur sedangkan Argopuro di belahan barat. Ada yang tak biasa saat kami merambah lereng Argopuro ketika melihat gadis gadis pemetik kopi dengan wajah tak seperti yang biasa kulihat tiap hari. Gadis bermata biru, kulit putih namun mengenakan jilbab ala muslimah yang cantik. Dadaku bergetar keras, apakah ini peri gunung, ataukan penampakan Noni-noni Belanda. Hingga temanku agak jauh aku tak sadar bahwa aku tetap tak melangkah. Rupanya aku terperanjat dan terpaku akan keelokan wanita itu.
"Mau ke puncak ya kang? ", Tanyanya dengan suara yang lembut kali apalagi dibumbui sedikit senyum tulusnya. Aku tak bisa berkata apa-apa, bahkan terdiam agak lama, hingga aku tertinggal jauh dari rombongan. Aku sadar setelah Handy Talky-ku ada yang memanggil-manggil. Aku jawab bahwa aku hendak rehat di pos 1 dengan alasan less oxygen.
"Kang...kenapa diam, apa kekurangan oksigen? tak biasa muncak yaa?", Sambungnya. Kujawab sekenanya saja karena hanya itu yang aku bisa.
Dari perbincangannya aku baru tahu kalau dia bernama Fateema Barlemans yang katanya masih keturunan Belanda sang pemilik kebun kopi itu. Menyusuri jalan setapak yang sesekali kakiku dicumbu rumput-rumput nakal hingga melukainya. Sakit dan gatal kuabaikan saja karena berjalan dengan beberapa gadis gunung itu sangat menyenangkan apalagi si gadis etnis Belanda yang super imut . Di sebuah bale-bale aku duduk di atas balai-balai bambu sembari bincang banyak hal tentang suasana di lereng gunung .Karena kecapaian aku terlelap tanpa sadar, dan tahu-tahu ketika aku terbangun kepalaku sudah beralas bantal. Ada suguhan kopi kental panas di sebuah meja kecil yang disajikan saat aku terbangun.
Hari sudah mulai condong, sementara teman-teman masih belum kasih info keberadaannya terkini. Karenanya aku mulai gelisah, dan taklah mungkin aku harus pulang sendirian. Namun tetiba ada pemberitahuan via HT ternyata teman-teman justru memilih jalan lain tuk pulang. Pulang lewat gunung piring yang melintasi lereng selatan yang itu artinya aku harus mencari cara lain. Di tengah kebingunganku si Fateema menyuruhku untuk mandi air hangat yang telah dibuatkan agar relaks katanya tradisi itu adalah tradisi dari orang tuanya. Di bak kamar mandi telah ditaburi bunga-bunga khas pegunungan yang beraroma menyegarkan. Ada perasaan tenang di griya orang Belanda itu. Hingga sore kian menjadi aku tambah kebingungan hendak pulang. Tapi ketika ada tawaran agar menunggang kuda piaraannya aku sedikit lega. Kendala berikutnya justru aku tak bisa menunggang kuda. Dan terpaksalah Fateema menjadi Jokinya sedang aku menjadei pemboncengnya. Dadaku bergetar ketika punggung kuda naik turun saat menyusuri jalanan.
" Kenapa kok kulitnya terasa panas kang....tegang yaa, relaks aja...gak bakalan jatuh", jelasnya. Aku mesti jawab apa, lah wong tegangku bukan karena takut di punggung kudanya, justru aku takut kesurupan cinta padanya.
___
Bondowoso, 4 Agustus 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar