KUTUKAN PERI GIGI
Pak Tyqnue Azbynt
Kadang takdir perjalanan cinta itu sulit diprediksi, bahkan jauh dari nalar tapi nyata dalam peristiwa. Adalah kisah cinta kami yang bak dongeng jaman bahuela saja. Profesiku yang sebagai PNS tepatnya guru di sebuah Sekolah Dasar, bagi orang desa dianggap stratanya di atas masyarakat kebanyakan. Karenanyalah aku kadang berani memilah milih calon pendamping, walaupun kalau mereka melihat tampangku mungkin otaknya akan stress seketika.
Selepas dari Pendidikan Guru Agama ( PGA ) aku ak terlalu lama menganggur, dan hanya 1tahun setengah telah bisa lolos menjadi PNS sebagai Guru Agama Islam. Ditugaskan di pelosok desa justru aku kian dihormati, bahkan bak seorang Gus ( Gusti Syarif ) yang biasa disematkan pada keturunan kiyai. Jumawa pun sering bersarang di otakku.
Sebenarnya gajiku taklah seberapa kala itu, tapi tampil rapi dan dihormati banyak orang menjadikanku berada di zona nyaman. Yang menjadi tak nyaman justru desakan dari keluarga agar aku segera mencari pendamping, padahal aku punya program tuk berlanjut studi S1. Semula aku acuhkan saja karena aku masih mau menikmati kebebasan kesendirian tanpa aturan seseorang yang mendampingiku. Gegara haus tunduk pada titah orang tua aku pun mencari alon pandampingku, tapi dengan santai dan sedikit ogah-ogahan.
Suatu hari aku sowan ke rumah guru SD-ku, di samping tuk mengabarkan tentang status pekerjaanku juga tuk silaturrahim dan mengucapkan terima kasih aas segala bimbingannya hingga menjadi seorang guru. Lama kali beliau memberikan bimbingan tentang hidup dan kehidupan di masyarakat. Dilalah kembali soal pendamping hidup jadi bahan obrolan. Dan, jelas sudah jawabanku belum menemukan bidadari titipan calon mertua.
Perjalanan pulang ari rumah guru hujan datang tiba-tiba, di sebuah mushala aku numpang berteduh sekalian Asharan dulu. Nun di teras rumah depan mushala itu ada seorang gadis masih berseragam anak Madrasah Aliyah sedang menyekakan kain pel di terasnya yang kena tampias hujan. Kuperhatikan ari aas hingga ke bawah, wajahnya, kulitnya, tubuhnya, semua menggetarkan dadaku. Entah energi apa yang menjadikanku semangat tuk melamarnya.
Bermodal sisa rokok yang tinggal separuh bungkus kujadikan siasat tuk mendekati rumah itu. Hujan sudah tinggal rinai risiknya, tanpa sepengetahuannya kulempar korek ke halaman mushala itu. Meminjam korek, yaa alasan meminjam korek menjadi alasan tuk mendekatinya. Tak seberapa lama seorang ibu paruh baya keluar ke teras itu hanya tuk membuang sisa puntung rokok di halamannya yang sudah penuh air hujan.
Permisi, boleh meminjam korek bu?, bukaku tuk mendapatkan sedikit atensi artinya. Dia pun segera menyilakanku tuk masuk ke ruang tamu.
Mari, masuk nak saya carikan korek dulu. Saat aku masuk kulihat di sekeliling dinding rumahnya. Tampak beberapa lukisan kaligrafi, dan foto seorang lelaki dengan perawakan seorang kiyai. Lama kali tak kunjung keluar si ibu, hatiku menduga-duga bakalan ada kopi keluar. Dan benar saja secangkir kopi hitam dengan asap yang mengepul disuguhkan ke hadapanku.
Maaf nak kalau agak lama, soalnya koreknya baru ketemu. Yaa biasalah saya selalu lupa menaruhnya, maklumlah tak ada lelaki di rumah ini, terangnya.
trus, maaf Pak Kiyai di foto itu?
Oh itu almarhum ayahnya Aisah. Sejak beliau meninggal kami kelabakan ngajari anak-anak santri ngaji tiap malamnya. Maklumlah hana kami berdua yang melayani santri sekitar 20an itu.
Mendengar cerita itu, otakku menyimpulkan sendiri kalau aa peluang tuk melamar anaknya. Persetan dengan tampangku ang pas-pasan, yang pening aku punya nyali.
Hari-hari pun berlalu, aku selalu menunggu datangnya hujan demi singgah ke mushala itu. Rupanya hujan iri denganku, sudah hampir sebulan hujan tak kunjung iba padahal ini bulan Januari, harusnya sih hujan. Otakku mulai kacau, tak ada alasan tuk mampir ke mushala itu lagi. Wajah Aishah mulai menjajah sukmaku.kangkuhan an kesombonganku engan status pupus sudah. Nyaliku menjadi ciut dan nyaris tak punya logika tuk bisa melamarnya.
Ikhwal kusampaikan pada ibu, kalau aku sedang jatuh cinta pada seorang putri kiyai. Ibu pun ragu, saat kusampaikan alamat gadis yang dimaksud. Rupanya beliau tahu kalau dia bertrah Neng atau Neng Mas , panggilan yang biasa di sematkan pada putri kiyai. Namun keluhku pada bunda, menjadikan beliau menyemangatiku dengan doa doanya.
28 Oktober 2023sore ketika menyaksikan event lomba pembacaan puisi di Musium Kereta Api Bondowoso, perlahan titik titik hujan menemui bumi, bertambah dan bertambah hingga deraslah hujan. Berpamitan paa teman-teman dengan alasan hendak mengentas jemuran. Kenakan baju hujan, lalu gaspol menuju jalan yang melintas di dekat mushalla si Aishah. Sekitar 100meer menjelang mushala itu, kulepas jas hujan agar baju sedikit basah. Dan kembali aku berteduh di mushala beberapa tahun lalu. 5 menit lewat sudah, belum kutampak penghuni rumah itu keluar. Dalam hati eap munajatkan doa agar hujan tetap saja mencumbu bumi, agar ada alasan uk berbetah-betah di mushala itu.
Ibu Nyai bunda Aishah muncul jua, dan sepertinya dia baru menyadari ada mahluk kepo yang sedang menunggu sapaannya. Finally beliau menyilakan aku tuk sudi singgah di ruang tamunya, sudah pasti aku mengiyakannya tanpa babibu lagi. Pisang goreng panas, plus teh hangat tersaji sudah, namun si Aishah belumlah kelihatan batang hidungnya. Usut punya usut dia sedang sibuk mengatasi bocor atap di kamarnya. Kutanyakan paa Bu Nyai kalau-kalau ada tangga, dan jika diperkenankan aku akan mngentas bab geneng bocor di kamar bidadarinya. And yes, tangga ada, dan aku diperkenankan pula. Maklumlah tah ada lelaki di rumah itu, beberapa ember teronggok di atas kasurnya.
Kerjaan kelar sudah, dan aku kembali ke ruang tamu. Dari situlah kutemukan asa saat Bu Nyai menanyakan status kelajanganku. Dengan merendahkan diri, bahwa tak bakalan ada orang yang sudi menjadikan aku sebagai suaminya. Beliau berkata kalau lelaki itu lebih punya otoritas menentukan jalan hidupnya, sedangkan wanita hanya menunggu kepastian dari seorang lelaki yang bisa meminangnya.
Dengan mohon ijin kupergi ke petirtaan di sisi mushala tuk buang air kecil, hal ini kujadikan sebagai alasan tuk ambil wudhu. Langsung duduk di beranda mushala membaca surah Yaa Siin tuk diberi keberanian bertutur maksud hati kepada beliau. Selepas itu aku kembali ke ruang tamu dan bertemu dengan Bu Nyai. Berkali aku memohon ampun jikalau berani lancang dan banyak kesalahan karena berani bertutur hendak melamar Aishah putri beliau.
Nak Hamid boleh saja melamar anak saya, tapi perlu kamu ketahui, bahwa anak saya itu type pemberontak, dan masih kelas 2 MA. Oh Yaa sebagai orang etnis Madura, saya masih menjaga tradisi. Artinya yang perlu datang ke sini adalah orang tua nak Hamid. Tentukan harinya, pilih ari yang baik dan kabari saya.
Dari restu beliau, yang semula dada saya berdetak keras, kini perlahan perasaanku lebih tenang. Aku pun pamit undur dan pulang dengan hati berbunga-bunga.
Pinangan usai sudah, akhirnya kami pun menikah sesuai dengan kesepakatan pemilihan hari baik. Prosesi nikah yang tidak terlalu besar tapi dari keluarga paman bibi kiyai semuanya merestui kami. Hikmad dan penuh kesyahduan. Hatiku bersorak senang, sedang wajah Aishah tampak kering dan seperti hendak berontak saja. Hanya 2 hari 1 malam acara itu, dan saya sudah bisa menguasai jiwa an raganya.
Malam yang dinanti ternyata bagiku hanyalah siksa belaka, baginya juga menjadi neraka. Malam pertama bahkan sampai 9 bulan kami hanya menjadi cerita sakinah mawahdah wa rahmah di luaran saja, sedang bagi kami harus bermain sandiwara saat berada di luar rumah saat malam hari. Bila malam tiba istriku tersentuh kulitnya dikit saja, langsung menjerit, dan pastilah aku menjauh demi tidak mengundang perhatian warga. Sautu ketika Bu Nyai menanyakan padaku perihal tersebut. Rupanya beliau sudah mencium kejadian itu. Sarannya sangat ektrim agar saya melakban mulutnya, dan mengikat tangan kakinya. Cara itu kutampik saja karena aku masih memilih cara yang damai dan bermarwah.
Jangankan dalam keadaan sehat, dan tak punya beban, dalam keadaan sakit yang agak parah saja masih saja menampik bantuanku. Saat demam gegara terkena typus aku mencoba mencarikan obat tapi malah dibuang, alasannya takut diguna-guna. Dan hal seperti itu selalu berulang dan berulang dengan cerita yang sama.
Tiap malam kuadukan saja masalahku pada Tuhan, ketegasan Mak Nyai mertuaku cukuplah menjadi pengikat hatiku untuk tetap bertahan.Walau pun minumnya selalu memakai air mineral bersegel, mie instan yang dibuat sendiri gegara kekhawatirannya akan guna-guna. Makananku dimasakkan oleh ibu mertua. Begitulah aku menuntaskan ahun pertama pernikahan kami. Masuk bulan ke 11, Aishah bidadari titipan metuaku terserang sakit gigi. Entah ini berkah atau hanya tipuan saat dia sedang sakit saja. Tanganku ditarik dan suruh memijat lengannya, lehernya, sambil mengerang kesakitan. Mungkin karena sangat heboh, Mak Nyai sedikit membuka pintu kamar kami, lalu segera beliau tuup kembal karena kami sedang pijit memijit. Begitulah malam berlalu hingga dia terlelap tidur di pahaku.
Azan subuh di mushala telah membangunkannya, dan dia terhenyak kaget karena tidur di atas pahaku sedang aku bersender di kepala divan.
"Uuuh, astaghfirullah, kau apakan aku, heeeh, hayo jawab", katanya meradang.
'Neng salat aja dulu, ambil wudhu, ayo kita makmum di mushala, Neng gak puna hadats besar kok, wudhu saja", Jawabku ditenang-tenangkan, padahal aku harus memenjarakan nafsu sekuat-kuatnya semalam. Kuberikan dia beberapa obat vitamin dan antibioik serta pereda nyeri kalau sakitnya kembali kambuh.
Sepulang mengajar, aku membuang kooran burung dari sangkar, dilalah kulihat bungkusan obat itu dibang di tempat sampah. Wah keras kepala benar ne cewek, begitu pikirku. Aku acuhkan saja, namun justru aku dikagetkan saat dia bertutur.
"Kang, obatmu telah kuhabiskan dan nihil gak ada reaksinya", kilanya.
"owh gitu ya?", moga gak kambuh lagi.
"Justru owh, ya Allah sakitnya, duuuuh"
"Boleh saya pijit lagi neng?"
" Hayooo sakit nee"
Saat kusentuh ternyata yang terasa panas tak hanya di area lehernya, justru betisnya saat kusentuh juga terasa panas. Hatiku berkata si Neng ini pura-pura sakit gigi.
"Gimana neng, sudah agak baikan?"
"Belum siiih, pijit di leher kang!"
Aku tahu dia ngprang aku, ya terpaksa kuprank balik. Aku pura-pura kramp, kakiku mengejang. Dia pun mulai gupuh cemas.
"Kok malah berkeringat kang, sakit yaa?"
Alasanku sakit dan gerah, suruh bukakan hemku, aku gak bisa karena kaki dan tanganku kramp. Dari kejadian itu bintangpun berjatuhan, kabut kabut syahdu rindu melayang jauh ke ngarai-ngarai dan bukit asmara. Cinta kami saling berlaluh di pantai cita.
" Kaang, maafkan kalau dulu aku membencimu, hingga Peri Gigi mengutukku", candanya sembari mencubit lenganku.
_________
Bondowoso, 15 10 2023