Total Tayangan Halaman

Senin, 30 Oktober 2023

Si PETOK dan Si EMPUS

Si PETOK dan Si EMPUS


Pak Tyqnue Azbynt


Wak Diman lelaki tua yang tinggal di Lembah Argopuro ternyata seorang pawang hewan. Tiupan serulingnya bisa meninabobokan, menggerakkan, marga satwa sesuai kehendak Wak Diman. Seruling itu kecil dan panjangnya hanya sejengkal. 


Dari semua mahluk yang dihipnotisnya hanya ayam dan kucing yang lolos dari pengaruh tiupan serulingnya. Maka dipeliharalah dua hewan itu. Si Empus dan Si Petok begitulah penamaan oleh Wak Diman. Rupanya Wak Diman punya trik lain tuk menaklukkan 2 binatang itu. Ternyata seruling yang kecil itu merupakan pena yang sewaktu-waktu bisa menuliskan mantera, dengan mantera itu bisa dirapal olehnya, dan akhirnya sesiapa pun terjerat oleh pengaruh manteranya. Rupanya Si Empus dan si Petok tahu akan hal itu. Mereka pun menyusun rencana tuk merebut penanya demi memanterai si Empunya.


Selepas petang Wak Diman duduk di balai-balai tuk menunggu Maghrib tiba. Saat itulah kedua piaraannya itu menyusun niat jahatnya.

"Petok pas maghrib tiba, bebunyilah kau sekencangnya dan bikin gaduh suasana agar Wak Diman keluar. Saat itulah aku akan mengunci pintu, lalu mengambil seruling yang sejatinya adalah pena itu", pinta Si Empus.

" Oke, siap laksanakan bentar lagi", timpal si Petok. Dan benarlah saat   Wak Diman keluar, si Empus mengunci pintu dan mengambil seruling nya. Sambil mengibas-ngibaskan ekornya si Empus bergumam sambil membaca mantera seperti apa yang dibaca Wak Diman, namun serulingnya itu berubah menjadi pena utuh tanpa lubang nada seperti biasanya. Baik si Empus maupun Di Petok tak bisa meniupnya tuk menghipnotis si empunya. Pada saat yang bersamaan Wak Diman menepuk tanah tiga kaki, dilalah _penanya terbang_ disertai angin ribut, hujan lebat dan petir yang menyambar dimana-mana.


_____

Bondowoso, 30 10 23

Rabu, 25 Oktober 2023

BIIA & NARA diadopsi dari Puisi Pengungsi dan Penjual Miniatur Eiffel karya Muhammad de Putra

 BIIA & NARA

diadopsi dari Puisi Pengungsi dan Penjual Miniatur Eiffel karya Muhammad de Putra


Pak Tyqnue Azbynt

Entah mengapa malam itu begitu menyiksa bagi kami para penyintas di negeri orang dengan status sebagai pengungsi. Paris dunia glamor para pemburu gaya, ternyata menjadi neraka bagiku. Sejak kegagalanku menjadi legislator di tanah asalku, semua harta terkuras habis tanpa sisa. Begitu pun, tabungan Antam untuk adik adikku. Ludes dan aku tak menjadi apa-apa.





Dengan bermodal pinjaman dari seorang sahabat, aku nekat ke negeri para model tanpa tujuan yang jelas. Mungkin karena malu di kampunglah yang membuatku hilang pikiran warasku. Semula aku berpikir kalau kelihaian melukis yang selama ini aku tinggalkan, bisa aku jadikan penyambung finansialku selama di sana. Semua dugaku jauh dari kenyataan, aku menjadi gelandangan kota bersama, orang-orang imigran Yaman yang tak kunjung dapat suaka dari sana. 

Entah kenapa malam itu, langit begitu barbarnya mencumbu bumi, hujan yang begitu deras mendera kami tanpa ampun. Kami yang hampir seharian menjajakan miniatur menara Eiffel harus mencari teduhan dari dera air langit itu. Malam sudahlah larut sedang hujan tak jua henti, jaket kulit lusuh bak perasan santan kelapa saja, deras mengucur. Saat rinai mulai menipis, sedikit legalah perasaanku. Dingin?, Masih saja menyiksa. Tak ada sebatang rokok pun tuk menjadi penghangat rasa. Suara burung malam semakin menyiksa sukma, ejekannya menusuk ulu hati. 

Paris memang tak pernah tidur, dari arah timur tampak dua gadis kembar sedang menuju ke arahku, memotret kami dan benda-benda di sekitar kami. " These are enough as our painting object ", seru salah satunya. " Yaa cukup ", sambung satunya dengan Bahasa Indonesia. Dari situlah ingin rasanya aku berkenalan dan mengulik jauh tentang dua gadis kembar itu. 

Dari long jacket nya dia mengeluarkan rokok lalu menyalakannya. Mulutku terasa rindu menghisap asap saat dingin begini. " Boleh sebatang saja buatku?". " Oh Indonesian? ". Dari situlah baru aku tahu namanya ' Biia dan Nara ' , sosok.kembar yang baru saja pulang dari Mojerel Garden Marocco, dan berlanjut ke Eifel tuk liburan selepas menuntaskan studinya di Muhamed 1 University di Oujda, Maroko. Memang taklah terlalu jauh jarak Maroko-Prancis, makanya mereka enjoy saja, apalagi bagi mahasiswa berduit macam.mereka. 

Pertemuan itu benar-benar berarti bagiku, aku seperti bertemu semua keluarga di tanah air. Keakraban dan upayanya tuk mengantarku ke konsulat agar dicarikan jalan demi tidak.menkadi penyintas di negeri orang. Dan benar saja keesokan hari mereka telah menjemputku, dan mengantar ke kantor konsulat RI di sana. Selama diperjalanan mereka menunjukkan sebuah Sketchbook dengan beberapa sketsa lukisannya. Kucoba kritisi tekniknya yang kurang rapi. " Oh bisa merupa?". " Sedikit ", sambungku. Kuminta Sketchbook dan carbonit pensilnya, and kulukis wajah mereka berdua walaupun tak seberapa bagus karena posisi dalam mobil yang sesekali melencengkan arah mulut pensilku. Bila dan Nara, kalian telah menghidupkan asaku yang sudah mati, berkat petunjuknya aku justru menjadi road artist di Majorel Garden Marocco. Berkat lukisan-lukisan yang kujual akhirnya aku bisa studi di 'Mohamed 1 University Marocco '. Konon kabarnya mereka berdua sudah berada di tanah air dan menjadi dosen de perguruan tinggi ternama di Indonesia. Thank alot, Biia dan Nara. 

____

Bondowoso, 25 10 23

Minggu, 15 Oktober 2023

Kutukan Peri Gigi

 KUTUKAN PERI GIGI

Pak Tyqnue Azbynt

          Kadang takdir perjalanan cinta itu sulit diprediksi, bahkan jauh dari nalar tapi nyata dalam peristiwa. Adalah kisah cinta kami yang bak dongeng jaman bahuela saja.  Profesiku yang sebagai PNS tepatnya guru di sebuah Sekolah Dasar, bagi orang desa dianggap stratanya di atas masyarakat kebanyakan. Karenanyalah aku kadang berani memilah milih calon pendamping, walaupun kalau mereka melihat tampangku mungkin otaknya akan stress seketika.

          Selepas dari Pendidikan Guru Agama ( PGA ) aku ak terlalu lama menganggur, dan hanya 1tahun setengah telah bisa lolos menjadi PNS sebagai Guru Agama Islam. Ditugaskan di pelosok desa justru aku kian dihormati, bahkan bak seorang  Gus  ( Gusti Syarif ) yang biasa disematkan pada keturunan kiyai. Jumawa pun sering bersarang di otakku.



          Sebenarnya gajiku taklah seberapa kala itu, tapi tampil rapi dan dihormati banyak orang menjadikanku berada di zona nyaman. Yang menjadi tak nyaman justru desakan dari keluarga agar aku segera mencari pendamping, padahal aku punya program tuk berlanjut studi S1. Semula aku acuhkan saja karena aku masih mau menikmati kebebasan kesendirian tanpa aturan seseorang yang mendampingiku. Gegara haus tunduk pada titah orang tua aku pun mencari alon pandampingku, tapi dengan santai dan sedikit ogah-ogahan.

          Suatu hari aku sowan ke rumah guru SD-ku, di samping tuk mengabarkan tentang status pekerjaanku juga tuk silaturrahim dan mengucapkan terima kasih aas segala bimbingannya hingga menjadi seorang guru. Lama kali beliau memberikan bimbingan tentang hidup dan kehidupan di masyarakat. Dilalah  kembali soal pendamping hidup jadi bahan obrolan.  Dan, jelas sudah jawabanku belum menemukan bidadari titipan calon mertua.

          Perjalanan pulang ari rumah guru hujan datang tiba-tiba, di sebuah mushala aku numpang berteduh sekalian Asharan dulu. Nun di teras rumah depan mushala itu ada seorang gadis masih berseragam anak Madrasah Aliyah sedang menyekakan kain pel di terasnya yang kena tampias hujan. Kuperhatikan ari aas hingga ke bawah, wajahnya, kulitnya, tubuhnya, semua menggetarkan dadaku. Entah energi apa yang menjadikanku semangat tuk melamarnya. 

          Bermodal sisa rokok yang tinggal separuh bungkus kujadikan siasat tuk mendekati rumah itu. Hujan sudah tinggal rinai risiknya, tanpa sepengetahuannya kulempar korek ke halaman mushala itu. Meminjam korek, yaa alasan meminjam korek menjadi alasan tuk mendekatinya.  Tak seberapa lama seorang ibu paruh baya keluar ke teras itu hanya tuk membuang sisa puntung rokok di halamannya yang sudah penuh air hujan. 

 Permisi, boleh meminjam korek bu?, bukaku tuk mendapatkan sedikit atensi artinya.  Dia pun segera menyilakanku tuk masuk ke ruang tamu.

 Mari, masuk nak saya carikan korek dulu. Saat aku masuk kulihat di sekeliling dinding rumahnya. Tampak beberapa lukisan kaligrafi, dan foto seorang lelaki dengan perawakan seorang kiyai. Lama kali tak kunjung keluar si ibu, hatiku menduga-duga bakalan ada kopi keluar. Dan benar saja secangkir kopi hitam dengan asap yang mengepul disuguhkan ke hadapanku. 

 Maaf nak kalau agak lama, soalnya koreknya baru ketemu. Yaa biasalah saya selalu lupa menaruhnya, maklumlah tak ada lelaki di rumah ini, terangnya.

 trus, maaf Pak Kiyai di foto itu?

 Oh itu almarhum ayahnya Aisah. Sejak beliau meninggal kami kelabakan ngajari anak-anak santri ngaji tiap malamnya. Maklumlah hana kami berdua yang melayani santri sekitar 20an itu. 

Mendengar cerita itu, otakku menyimpulkan sendiri kalau aa peluang tuk melamar anaknya.  Persetan dengan tampangku ang pas-pasan, yang pening aku punya nyali. 

          Hari-hari pun berlalu, aku selalu menunggu datangnya hujan demi singgah ke mushala itu. Rupanya hujan iri denganku, sudah hampir sebulan hujan tak kunjung iba padahal ini bulan Januari, harusnya sih hujan. Otakku mulai kacau, tak ada alasan tuk mampir ke mushala itu lagi.  Wajah Aishah mulai menjajah sukmaku.kangkuhan an kesombonganku engan status pupus sudah. Nyaliku menjadi ciut dan nyaris tak punya logika tuk bisa melamarnya. 

          Ikhwal kusampaikan pada ibu, kalau aku sedang jatuh cinta pada seorang putri kiyai. Ibu pun ragu, saat kusampaikan alamat gadis yang dimaksud. Rupanya beliau tahu kalau dia bertrah Neng  atau  Neng Mas , panggilan yang biasa di sematkan pada putri kiyai.  Namun keluhku pada bunda, menjadikan beliau menyemangatiku dengan doa doanya.

          28 Oktober 2023sore ketika menyaksikan event lomba pembacaan puisi di Musium Kereta Api Bondowoso, perlahan titik titik hujan menemui bumi, bertambah dan bertambah hingga deraslah hujan.  Berpamitan paa teman-teman dengan alasan hendak mengentas jemuran. Kenakan baju hujan, lalu gaspol menuju jalan yang melintas di dekat mushalla si Aishah. Sekitar 100meer menjelang mushala itu, kulepas jas hujan agar baju sedikit basah. Dan kembali aku berteduh di mushala beberapa tahun lalu. 5 menit lewat sudah, belum kutampak penghuni rumah itu keluar. Dalam hati eap munajatkan doa agar hujan tetap saja mencumbu bumi, agar ada alasan uk berbetah-betah di mushala itu.

          Ibu Nyai bunda Aishah muncul jua, dan sepertinya dia baru menyadari ada mahluk kepo yang sedang menunggu sapaannya. Finally beliau menyilakan aku tuk sudi singgah di ruang tamunya, sudah pasti aku mengiyakannya tanpa babibu lagi. Pisang goreng panas, plus teh hangat tersaji sudah, namun si Aishah belumlah kelihatan batang hidungnya. Usut punya usut dia sedang sibuk mengatasi bocor atap di kamarnya. Kutanyakan paa Bu Nyai kalau-kalau ada tangga, dan jika diperkenankan aku akan mngentas bab geneng bocor di kamar bidadarinya.  And yes, tangga ada, dan aku diperkenankan pula. Maklumlah tah ada lelaki di rumah itu, beberapa ember teronggok di atas kasurnya. 

          Kerjaan kelar sudah, dan aku kembali ke ruang tamu. Dari situlah kutemukan asa saat Bu Nyai menanyakan status kelajanganku. Dengan merendahkan diri, bahwa tak bakalan ada orang yang sudi menjadikan aku sebagai suaminya. Beliau berkata kalau lelaki itu lebih punya otoritas menentukan jalan hidupnya, sedangkan wanita hanya menunggu kepastian dari seorang lelaki yang bisa meminangnya.

          Dengan mohon ijin kupergi ke petirtaan di sisi mushala tuk buang air kecil, hal ini kujadikan sebagai alasan tuk ambil wudhu. Langsung duduk di beranda mushala membaca surah Yaa Siin tuk diberi keberanian bertutur maksud hati kepada beliau. Selepas itu aku kembali ke ruang tamu dan bertemu dengan Bu Nyai. Berkali aku memohon ampun jikalau berani lancang dan banyak kesalahan karena berani bertutur hendak melamar Aishah putri beliau.

 Nak Hamid boleh saja melamar anak saya, tapi perlu kamu ketahui, bahwa anak saya itu type pemberontak, dan masih kelas 2 MA.  Oh Yaa sebagai orang etnis Madura, saya masih menjaga tradisi. Artinya yang perlu datang ke sini adalah orang tua nak Hamid. Tentukan harinya, pilih ari yang baik dan kabari saya. 

Dari restu beliau, yang semula dada saya berdetak keras, kini perlahan perasaanku lebih tenang. Aku pun pamit undur dan pulang dengan hati berbunga-bunga.

          Pinangan usai sudah, akhirnya kami pun menikah sesuai dengan kesepakatan pemilihan hari baik. Prosesi nikah yang tidak terlalu besar tapi dari keluarga paman bibi kiyai semuanya merestui kami. Hikmad dan penuh kesyahduan. Hatiku bersorak senang, sedang wajah Aishah tampak kering dan seperti hendak berontak saja. Hanya 2 hari 1 malam acara itu, dan saya sudah bisa menguasai jiwa an raganya.

          Malam yang dinanti ternyata bagiku hanyalah siksa belaka, baginya juga menjadi neraka. Malam pertama bahkan sampai 9 bulan kami hanya menjadi cerita sakinah mawahdah wa rahmah di luaran saja, sedang bagi kami harus bermain sandiwara saat berada di luar rumah saat malam hari. Bila malam tiba istriku tersentuh kulitnya dikit saja, langsung menjerit, dan pastilah aku menjauh demi tidak mengundang perhatian warga. Sautu ketika Bu Nyai menanyakan padaku perihal tersebut. Rupanya beliau sudah mencium kejadian itu. Sarannya sangat ektrim agar saya melakban mulutnya, dan mengikat tangan kakinya. Cara itu kutampik saja karena aku masih memilih cara yang damai dan bermarwah. 

         Jangankan dalam keadaan sehat, dan tak punya beban, dalam keadaan sakit yang agak parah saja masih saja menampik bantuanku. Saat demam gegara terkena typus aku mencoba mencarikan obat tapi malah dibuang, alasannya takut diguna-guna. Dan hal seperti itu selalu berulang dan berulang dengan cerita yang sama.

          Tiap malam kuadukan saja masalahku pada Tuhan, ketegasan Mak Nyai mertuaku cukuplah menjadi pengikat hatiku untuk tetap bertahan.Walau pun minumnya selalu memakai air mineral bersegel, mie instan yang dibuat sendiri gegara kekhawatirannya akan guna-guna. Makananku dimasakkan oleh ibu mertua. Begitulah aku menuntaskan ahun pertama pernikahan kami. Masuk bulan ke 11, Aishah bidadari titipan metuaku terserang sakit gigi. Entah ini berkah atau hanya tipuan saat dia sedang sakit saja. Tanganku ditarik dan suruh memijat lengannya, lehernya, sambil mengerang kesakitan. Mungkin karena sangat heboh, Mak Nyai sedikit membuka pintu kamar kami, lalu segera beliau tuup kembal karena kami sedang pijit memijit. Begitulah malam berlalu hingga dia terlelap tidur di pahaku. 

          Azan subuh di mushala telah membangunkannya, dan dia terhenyak kaget karena tidur di atas pahaku sedang aku bersender di kepala divan. 

 "Uuuh, astaghfirullah, kau apakan aku, heeeh, hayo jawab", katanya meradang. 

 'Neng salat aja dulu, ambil wudhu, ayo kita makmum di mushala, Neng gak puna hadats besar kok, wudhu saja",  Jawabku ditenang-tenangkan, padahal aku harus memenjarakan nafsu sekuat-kuatnya semalam. Kuberikan dia beberapa obat vitamin dan antibioik serta pereda nyeri kalau sakitnya kembali kambuh.

          Sepulang mengajar, aku membuang kooran burung dari sangkar, dilalah kulihat bungkusan obat itu dibang di tempat sampah. Wah keras kepala benar ne cewek, begitu pikirku. Aku acuhkan saja, namun justru aku dikagetkan saat dia bertutur.

 "Kang, obatmu telah kuhabiskan dan nihil gak ada reaksinya", kilanya. 

 "owh gitu ya?", moga gak kambuh lagi.

 "Justru owh, ya Allah sakitnya, duuuuh"

 "Boleh saya pijit lagi neng?"

" Hayooo sakit nee"

Saat kusentuh ternyata yang terasa panas tak hanya di area lehernya, justru betisnya saat kusentuh juga terasa panas. Hatiku berkata si Neng ini pura-pura sakit gigi. 

 "Gimana neng, sudah agak baikan?"

 "Belum siiih, pijit di leher kang!"

Aku tahu dia ngprang aku, ya terpaksa kuprank balik. Aku pura-pura kramp, kakiku mengejang. Dia pun mulai gupuh cemas.

 "Kok malah berkeringat kang, sakit yaa?"

Alasanku sakit dan gerah, suruh bukakan hemku, aku gak bisa karena kaki dan tanganku kramp. Dari kejadian itu bintangpun berjatuhan, kabut kabut syahdu rindu melayang jauh ke ngarai-ngarai dan bukit asmara. Cinta kami saling berlaluh di pantai cita. 

" Kaang, maafkan kalau dulu aku membencimu, hingga Peri Gigi mengutukku", candanya sembari mencubit lenganku.

_________ 

Bondowoso, 15 10 2023


Kamis, 12 Oktober 2023

MENUNGGU ANGIN BERANDA

 MENUNGGU ANGIN BERANDA

Pak Tyqnue Azbynt



Dua pekan sudah aku tak melihat anak POLTEK yang selalu mengerjakan tugasnya di beranda kostnya. Di sebuah simpang jalan tampak rumah kost itu bersebelahan dengan kostku. 3 lelaki yang sama mahasiswa Poltek itu selalu saja mengerjakan tugasnya di beranda yang memang tampak nyaman tuk beraktifitas. Adian salah satu dari mereka yang selalu menjadi sorot pandangku, karena ada nilai plus menurutku. 


Batas selokan yang lumayan besar plus pagar terali besi menjadi pemisah kost-kostan kami, tapi mata masih saja bisa menampak anak-anak cowok kampus itu. Entah kenapa aku merasa rindu pada cowok yang seringkali menyenandungkan lagu-lagu shalawat. Suara yang merdu, wajah yang imut, tingkahnya yang santun benar-benar menyandera perasaanku; padahal kami belum pernah kenalan. Mendengar kabar dari ibu kost bahwa anak kost sebelah ada yang diopname di poliklinik perumahan di mulut gang yang menuju area kost kami. Hatiku mulai cemas, jangan-jangan si Adian, begitu celoteh otakku. 

Dilalah Si Didit anak Bu Kost yang masih SD itu jatuh dari sepedanya dan harus mendapatkan pertolongan medis. Tanpa ba-bi-bu aku segera membawanya ke poliklinik saat dia meraung-raung kesakitan, padahal cuma sedikit luka di lututnya. " Eh masnya kok ada di sini, sakit apa?", dengan tanpa malu-malu aku menjulurkan tangan, tanya kabar sekaligus kenalkan nama. " Cuma kecapaian kok, oh yaa tolong si adiknya itu diatasi dulu", ingatkanku tentang Didit. Yassalam, aku lupa, dan nafsu tuk.menjabat tangannya. Setelah paramedis menangani si bocah, aku kembali ke tempatnya Adian. Otakku rusak sudah, nafsu terus tuk mendekatinya, dan dilalah kami pun mulai akrab dengannya. " Bak Pe kan anak UIN tapi kok tampilan kayak anak metropolis saat tidak ngampus?". Kujelaskan saja kalau aku dulunya terpaksa masuk UIN gegara gagal masuk PTN idamanku, dan masuk di UIN pun di jurusan Akutansi Syariah. " Bak Pe cantik kok kalau pakai jilbab, aku suka cewek berjilbab, tapi walaupun baknya gak berjilbab aku senang berkenalan dengan cewek gemoy gini.  Eeh kok malah bengong?". Kembali dia ingatkanku saat pikiran menuju langit ke 8. " Demi mas Adian aku kemana-mana akan senantiasa mengenakan jilbab", timpalku. " Kok demi aku, demi agama dong, ya minimal demi kita", katanya. " Kita?". "Yaa aku dan kamu, gak.maukah aku dan kamu jadi kita?". Papar Adian sembari menggamit tanganku. Dari situlah aku baru paham.kalau dia nugas selalu di berandanya demi melihat aku yang sedang rujakan, nyapu, de el el di beranda. Rupanya gayung bersambut gegara luka memar si anak Bu Kost. 'Terimakasih Tuhan atas lukanya', celetuk otak tak warasku.

---

Bondowoso,12 10 23

Senin, 09 Oktober 2023

JEJAK RINDU UNTUK BU GURU

 JEJAK RINDU UNTUK BU GURU

Pak Tyqnue Azbynt

Memasuki bulan Ramadhan kami para santri ditugaskan safari Ramadhan tuk menghidupkan kegiatan bulan suci itu di berbagai penjuru kampung. Begitu pun aku yang seorang dosen tapi masih berstatus santri harus juga mengemban tugas yang sama. Tidaklah terlalu terpencil bahkan berada di jalur lintas propinsi menjadikanku tak kesulitan menemukan tempat tugasku.


Lembu Sewu desa yang menjadi titik sasarku. Selepas menemui kepala Desa tuk pamit kenal, aku diantar ke sebuah Madrasah Ibtidaiyah swasta yang berarni berdiri melawan Sekolah Dasar Negeri yang di bawah pangkuan pemerintah. Madrasah yang lumayan besar untuk tingkat desa menjadikan aku betah karena setidaknya aku bisa menerapkan teknik pembelajaran yang inovatif. Dosen Dedaktik Metodik haruslah menjadi pembelajar di madrasah itu kala siang hari, sementara malam harinya full kegiatan Qoma Ramadhan. Yang menjadi masalah justru madrasah itu hanya masuk satu pekan, sedang setelahnya libur hingga pasca lebaran. Namun ada beberapa guru yang masih antusias belajar walaupun madrsahnya libur. Diantara pembelajar itu justru ada yang mengganggu kehidmatan puasaku. Wajah yang imut body gemoy telah menyandra jiwaku. Tapi bulan puasa itu harus memenjarakan rasa di dada. 

Malam 27 Ramadhan aku harus pamit undur karena progam Safari Ramadhan telah usai, dan harus menuntaskan laporan pada bagian Akademik Diniyah di pesantren. Mataku tak hendak lelap jua hingga sahur dan subuh tiba, ingatanku tertuju pada ustazah Erliyanty yang sempat kusimpan senyumnya di sudut hatiku. Sungguh puasaku terganggu. Wah kacau sudah otak dan hatiku. Selepas Dhuha aku pamitan pada Kepala Madrasah tuk kembali ke pesantren. _Cilakanya_ di sebuah rumah dekat madrasah itu tampak si ustazah yang sedang menyapu terasnya. Hatiku tambah lara rasanya tuk pulang, bayangkan saja kali itu aku dapat menampak wajah dan tubuhnya yang tampil casual seperti selebgram Russia. _Duh_ _ambyar atiku cuuuk,_ begitu gerutu hati ini.

___

Bondowoso, 9 10 23

PERJALANAN DI HUTAN PINUS

 PERJALANAN DI HUTAN PINUS  Pak Tyqnue Azbynt  Erkantina wanita yang kuidamkan sejak aku  SMA itu kini benar-benar bersamaku. Momen saat dia...